Doa Untuk Hutan Seberang





Sore ini suasana senyap pemakaman begitu terasa. Semerbak harum kenanga memenuhi indra penciuman. Menyaksikan dua nama itu, nama yang terukir abadi di batu keabadian. Pagi tadi aku kembali kei desa ini. Tempat senyap ini memanggilku untuk segera meninggalkan Yogyakarta, tempat aku melanjutkan studi saat ini. Aku kuliah di Universitas ternama di sana, ku ambil Fakultas Perhutanan sebagai wujud bakti ku kepada desa ini. Juga pada Ayah dan Ibu.
Ayah dan Ibu pergi tepat sepuluh tahun yang lalu. Tepat ketika aku duduk di kelas di kelas empat SD. Rintik hujan seolah mampu membaca perasaanku. Membasahi luka hati yang tak pernah sempurna mengering.
Hujan memang pengingat yang handal. Butiran jernihnya mampu menyeret ingatan pada masa yang telah lalu. Berapapun lamanya. Seperti saat ini, hujan sukses membuatku mengeluarkan bulir bening yang nampak tak ada beda dengannya.
                                                ***
“Tok tok tok! Anna, Anna..” Terdengar ketukan pintu disusul suara Ibu yang bernada kesal.
“Iya bu” ku jawab meski harus mengumpulkan energi terlebih dahulu.
“Ayo cepat bangun, sudah subuh. Katanya mau ada festival kartini. Nanti telat lho” balas Ibu lebih lembut.
            Aku lupa hari itu aku harus mengikuti Rampak sekar. Semacam paduan suara yang menyanyikan lagu-lagu sunda lengkap dengan pakaian dan dandanan berbau sunda.
            “Iya bu, Anna sudah bangun.” Kataku malas, lalu menguap lagi untuk kesekian kalinya.
            Ibu memang selalu mengingat semua kegiatanku. Semua jadwalku ibu yang mengendalikan. Rasanya jika di bandingkan dengan alarm pun, ibu masih jauh lebih unggul. Ibu terbiasa  membangunkanku lebih pagi dari permintaanku.
            Aku menyibakkan selimut, berjalan gontai ke belakang pintu. Mengambil handuk. Membuka pintu, lalu menuju kamar mandi. Wangi masakan Ibu tercium, membuat arah langkahku berbelok. Di dapur Ibu tengah sibuk menyiapkan sarapan. Adik bungsu dan Ayah tak tahu dimana, tak terlihat diruang tengah yang biasanya menjadi tempat berkumpul keluargaku setiap pagi.
            “Ibu masak apa Bu?” tanyaku polos sambil masih mengucek mata.
            “Kamu masih belum mandi?” Ibu menjawab sambil menengok kaget ke arahku.
            “Nanti bu, Anna kan mau tahu Ibu masak apa?” Kataku manja.
            “Mandi dulu saja sana, setelah itu makan. Mak Rohini pasti sudah menunggumu Anna” Ibu membujuk, tanpa menjawab pertanyaanku.
            “Huft Ibu” gumamku pelan.
Seperti peraturan Ibu, setelah mandi aku makan. Ayah dan adik bungsuku  ikut makan. Hari itu kami makan pagi bersama. Aku mengambil nasi dengan sendok besar yang biasa di sebut centong. Ibu datang membawa sebuah mangkuk yang sepertinya itu adalah makanan yang Ibu masak tadi, makanan yang membuatku berbelok arah dari kamar mandi malah ke dapur.
            “Apa itu bu?” Si bungsu bertanya penasaran.
            “Ini buat teteh, Dek” jawab ibu singkat.
Aku segera mendongak mendengar namaku disebut. Kulihat si bungsu cemberut mendengar jawaban Ibu. Ibu menaruh mangkuk itu di atas meja. Ku tarik mangkuk itu kearah ku. Warna merah merona penuh mentupi permukaan mangkuk.  Mataku berbinar melihatnya.
            “Apa itu teh?“ Tanya sibungsu semakin penasaran.
            Apa ajah” jawabku iseng.
            Si bungsu terlihat semakin jengkel, lalu mendekatiku hendak melihat isi dalam mangkuk. Ku angkat mangkuk itu tinggi-tinggi. Sibungsu menarik-narik bajuku, berharap aku menurunkan mangkuknya. Aku malah semakin meninggikan mangkuknya, membiarkan si bungsu penasaran.
            “Sudah  sudah, Anna cepat makan. Ini sudah siang” Akhirnya Ibu menengahi.
            “Huu Teteh pelit!!” Si bungsu berseru kesal, lalu kembali ke tempat duduknya. “Ibu memangnya itu apa?” si bungsu kembali bertanya. Ternyata masih penasaran. Si bungsu usianya memang masih 6 tahun, tapi rasa ingin tahunya terkadang melebihi usianya.
            “Itu hanya sambal goreng Inna” Lagi-lagi Ibu menjawab singkat.
            “Oh hanya sambal goring?, Inna kira baso seperti yang Ibu buat kemarin” Jawab Inna penuh kelegaaan.
            “Apa? Kenapa memangnya kalau hanya sambal goreng? Kamu mau?” Sahutku ketus.
            “Nggak! Buat Teteh aja semuanya” dia tersenyum polos, seolah tadi tak ada kejadian apa-apa. Lupa kalau tadi dia menarik-narik bajuku meminta diperlihatkan isi mangkuk.
            Mangkuk itu memang hanya berisi sambal goreng, tak ada spesialnya. Itu mungkin pikir mereka. tapi asal tahu saja, sambal goreng buatan Ibu itu lezatnya melebihi semua makanan yang penah masuk ke mulutku. Bahan-bahan sambal ini, seperti cabai dan tomat adalah hasil tanam aku dan Ayah di pekarangan rumah. Dan itu membuat kenikmatan sambal semakin bertambah.
Beberapa minggu kemarin aku tak diperbolehkan makan makanan yang pedas termasuk sambal goreng buatan Ibu. Karena kata Pak Guru, itu akan merusak suaraku. Dan ibu pun sependapat dengan Pak Guru. Jadilah hidupku beberapa minggu sebelumnya begitu hambar. Dan hari itu, Ibu dengan baik memasakkannya khusus untukku. Aku sebenarnya bingung, sebelumnya Ibu melarangku makan sambal karena aku akan mengikuti lomba paduan suara. Lalu kenapa hari itu Ibu mengizinkanku? Padahal hari itu adalah puncaknya, jam 08.00  aku dan kawan-kawan SD Negeri Mekarjaya akan ke kota kecamatan untuk beradu Rampak Sekar dengan Sekolah Dasar yang lain. Entahlah, sampai saat ini aku tak mengerti maksud Ibu.
            “Kamu berangkat jam berapa Anna?” Pertanyaan Ayah membuyarkan lamunan ku.
            “Jam tujuh Yah. Kata Pak Guru kami harus sudah sampai di kota kecamatan sebelum jam 08.00, ada latihan dulu sebelum tampil” aku menjelaskan.
Ayah hanya mengangguk pelan mendengar jawabanku.
            “Kalau begitu cepat habiskan makanannya Anna, ini sudah hampir pukul enam. Mak Rohini pasti sudah menunggu dari tadi” Ibu kembali mengingatkan.
Aku mengangguk, kembali menyendok makanaan di atas piring, dan meneruskan makan pagiku dengan lahap.
            Tepat pukul 06.00 aku selesai makan. Segera berlari ke kamar, berganti pakaian dengan pakaian yang sudah Ibu siapkan sejak kemarin. Baju kebaya putih dengan paduan rok biru keemasan. Ku masukkan kancing-kancingnya ke lubang yang telah di sediakakan. Hati-hati sekali aku melakukannya. Takut kancingnya lepas lagi. Karena di hari sebelumnya kulihat Ibu tengah menjahit beberapa kancing yang terlepas.
Baju yang ku kenakan ternyata kebesaran. Lengan bajunya sampai menutupi jari dan rok yang melorot jika tidak ku pegangi. Tapi Ibu ternyata sudah menyiapkan sabuk kecil untuk rok ku yang melorot, dan untuk lengan baju, Ibu biarkan. Katanya itu akan apa-apa.
Ibu mengantarku ke rumah Mak Rohini. Ibu benar, Mak Rohini sudah menungguku sejak tadi.
Kamana wae kamu teh Anna, Mak tungguin dari tadi“ Sambut Mak Rohini ketika kami memasuki pagar bambu rumahnya.
“Iya Mak maaf, Anna telat bangun tadi pagi“ Kata ku jujur
“Ya sudah, sini. Nanti kamu teh ketinggalan” kata Mak Rohini sambil menarik lengan ku kemudian menyuruhku duduk di kursi dengan cermin yang cukup besar di depannya.
***
Aku sudah cantik, Mak Rohini berhasil membuat pipi dan bibirku merah merona. Mak Rohini memang telah di percaya warga sekitar untuk persoalan dandan-mendandani.
Ayah ternyata sudah menunggu ku dibalik pagar bambu, tentu saja dengan sepeda tua nya. Ku cium punggung tangan Ibu dan Mak Rohini, Pamit. Ayah mulai mengayuh sepedanya. Melewati jalan setapak menuju kota kecamatan bersama Ayah adalah hal yang mengasyikkan. Di tambah rimbun pepohonan yang membuat pagi kami semakin sempurna. Jarak kota kecamatan memang cukup jauh dari desaku. Ayah memilih jalan setapak ini agar bisa sampai lebih cepat. Karena jalan setapak itu melewati hutan dan pesawahan.
Sepanjang jalan sembari mengayuh sepeda, Ayah bercerita tentang hutan seberang yang katanya sedikit demi sedikit mulai hilang. Pepohonan nya banyak yang di tebang untuk kemudian lahannya di jadikan pabrik. Entah itu pabrik apa, aku tak tahu. Yang aku tahu, hutan seberang itu adalah resapan air terbesar di desa ku.  Dan hutan sebrang itu, berdekatan dengan perkebunan sayur-sayuran petani di desa, termasuk Ayah. Ayah sering sekali mengeluhkan hal itu, kata Ayah semenjak pabrik itu berdiri sekitar dua tahun yang lalu, tanah perkebunan menjadi tandus, tidak lagi subur seperti dulu. Dan semenjak itu pula aku dan kawan-kawan tidak lagi diperbolehkan mandi di sungai. Kata Ayah juga, sungai di desa sudah tercemar. Lagi-lagi tercemar limbah pabrik. Padahal biasanya setelah pulang sekolah sore, aku dan kawan-kawan mandi bersama di sungai.
Ayah semakin cepat mengayuh sepeda. Membuatku harus berpegangan lebih erat pada kemeja Ayah. Satu tanganku yang lain mengangkat rok  karena takut terkena jari-jari roda sepeda. Desah nafas Ayah terdengar semakin berat ketika melewati jalan yang terjal. Tak tega sebenarnya melihat Ayah seperti itu. Setiap pagi selalu saja aku repotkan. Setiap pagi aku diantar Ayah ke sekolah.dan sekarang Ayah harus mengantarku ke kota kecamatan. Inilah alasan ku mengapa aku meminta Ayah membelikan sepeda untukku. Agar aku bisa pergi ke sekolah sendiri, agar aku tak selalu merepotkan Ayah. Dan Ayah selau menjawab ‘doakan saja, mudah-mudahan panen bulan depan berlimpah, agar Ayah bisa membelikan kamu sepeda‘. Selalu begitu perkataan Ayah setiap kali aku minta sepeda. Sejak saat itu, setiap hari sehabis shalat aku selalu berdoa agar panen Ayah berlimpah. Tidak ada hama atau apapun yang nantinya mengurangi hasil panen sayur Ayah.
Kota kecamatan semakin dekat. Mulai ramai orang-orang berlalu lalang dengan kendaraannya masing-masing. Ada yang membawa mobil, motor dan ada juga yang berjalan kaki. Ayah memarkirkan sepeda di depan kantor Dinas Pendidikan Kecamatan Mekarjaya. Karena disana lah lomba Rampak sekar  atau paduan suara sunda di adakan. Banyak sekali anak-anak seusia ku yang datang dengan memakai kostum yang berwarna-warni, bermacam-macam modelnya. Membuatku sulit untuk menemukan kawan-kawanku yang lain.
            Akhirnya setelah bertemu dan berkumpul dengan kawan-kawan satu sekolah, Ayah kembali ke parkiran. Kata Ayah, Ia ada keperluan dengan Pak Kepala Desa yang jika aku tidak salah dengar, mereka akan membahas hutan seberang yang mulai hilang itu.
            Lomba di mulai. Sekolah ku mendapat nomer urut ke tiga. Melihat dua penampilan sebelumnya, ternyata membuat rasa percaya diri kami malah semakin menciut. Penampilan mereka memang sangat memukau. Aku saja hampir tak berkedip menyaksikannya. Pakaian mereka yang rapi, sepatu mengkilap terlihat sangat berbeda dengan kami. Kebaya yang kami pakai saat itu, sebagian besar adalah kebaya orang tua kami dahulu. Bahkan ada yang memakai kebaya neneknya, karena sulitnya mencari pinjaman kebaya. Beruntung aku punya bibi yang dulunya sempat bersekolah. Jadi baju yang ku kenakan ketika itu adalah baju yang di pakai Bibi ketika acara perpisahan di sekolahnya dulu. Anak-anak itu berasal dari kota, hingga nampak betul perbedaannya dengan kami anak Desa seberang.
            Pak Holid nampaknya mengerti apa yang sedang kami bicarakan dan apa yang kami rasakan. Beliau berkata, kami memang anak Desa dan karena itulah kami istimewa. Maka kami harus menunjukkan keistimewaan itu. Intan, salah satu kawanku ikut menularkan semangat Pak Holid. Ia mengepal-ngepalkan tangannya, lalu menyunggingkan senyuman manis yang membuat kami terhipnotis dengan senyumannya itu. Senyuman optimis yang ternyata berhasil membuat aku dan kawan-kawan menyunggingkan senyum yang sama. Anak itu memang tak pernah bosan menularkan semangat. Salut sekali aku terhadapnya, meski ia tak lagi memiliki orang tua, tapi ia tak pernah mengemis kasih dari orang lain. Tak pernah ku lupa senyum sahabat yang satu itu. Senyum Intan selalu ku jadikan cambuk semangat saat aku mulai terpuruk.
            Tiba bagi kami untuk tampil. Dengan semua keyakinan dan kemampuan kami berusaha menampilkan yang terbaik. Kulihat Pak Holid hanya mengacungkan jempulnya ketika kami hendak memasuki panggung. Kami mulai bernyanyi. Tubuh mulai berlenggak-lenggok sesuai irama. Tarian sederhana yang telah di pelajari berulang-ulang selama dua minggu ini. Di pertengahan penampilan, kami terdiam. Membiarkan  suara merdu Intan memenuhi ruangan,, menyayat hati semua yang mendengar. Cengkok sunda Intan ketika menyanyikan lagu Bubuy Bulan memang tidak ada tandingannya. Jemari lentiknya meliuk-liuk mengikuti alunan suaranya, membuat Intan bak penyanyi papan atas.
            Tepuk tangan dan senyuman penonton serta dewan juri menyambut setelah kami selesai bernyanyi. Senyum Pak Holid semakin mengembang, membuat kami berhamburan memeluk beliau. Kami sudah melakukan yang terbaik, dan kami tahu hasil akan selau berbanding lurus dengan usaha.
            Kegiatan lomba selesai pukul tiga sore. Sekolah ku ternyata berhasil meraih jura meski harus puas di posisi ke dua. Itu tak masalah. Berapa pun posisinya, yang jelas kami anak-anak desa sangat menikmati hari itu.
            Aku kembali ke parkiran, tempat Ayah memarkirkan sepeda tadi pagi. Ayah sudah disana. Terlihat Ayah tengah membungkuk, sepertinya sedang memperbaiki roda sepeda.
            “Assalamualaikum,.“ Aku menyapa Ayah dan memberikan penghormatan teragung ku dengan dengan mencium punggung tangannya.
            “Waalaikumsalam..“ Ayah menjawab singkat.
            “Ayah, Sekolah Anna jadi juara dua yah. Hebat kan?“ ucapku, bangga.
Ayah hanya tersenyum. Lalu bersiap kembali mengayuh sepeda tuanya. Pak Holid menyapa Ayah dengan senyuman, kemudian berlalu dengan sepeda motornya. Dua orang di belakangnya, tak henti melambaikan tangan kepadaku dan Ayah. Mereka adalah Intan dan Susi. Pak Holid mengantar mereka ke rumahnya, karena Pak Holid tau tak kan ada yang menjemput mereka dan karena jarak rumah mereka pun cukup jauh. Dalam hati aku bersyukur, karena aku memiliki Ayah yang selalu setia mengantarku kemana pun aku pergi. Seperti saat ini, aku tahu Ayah  baru pulang dari kebun, dan langsung pergi ke kota kecamatan untuk menjemputku. Oh Ayah. Jariku semakin erat menggenggam kemeja Ayah. Aku tak ingin kehilangan Ayah.
            Langit terlihat mendung. Hingga membuat senja yang terlihat dari atas jalan itu sedikit mengerikan. Ayah mempercepat kayuhan sepedanya. Namun tetes hujan ternyata datang lebih cepat menyentuh kulit, padahal Aku dan Ayah masih setengah perjalanan. Kami berteduh di gubuk kecil di pinggir hutan. Hujan menderas, petir pun ikut membuat suasan semakin mencekam. Aku merapatkan tubuh ku pada Ayah. Dari kecil aku tidak pernah suka dengan petir.  Cahaya nya, suara gemuruh nya, semua nya aku tidak suka.
            Ayah kembali bercerita di tengah hujan. Kembali bercerita tentang hutan seberang. Kata Ayah, dulu hutan sebrang itu sering disebut hutan keramat. Tak ada satu pun warga yang berani masuk kedalam hutan itu. Jangan kan masuk kehutan, mengambil ranting pohonnya untuk dijadikan kayu bakar saja tak ada yang berani. Karena nya hutan seberang selalu terjaga keberadaannya. Berbeda dengan sekarang, orang-orang kota itu seakan ingin mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dari hutan seberang. Kayu nya, tanah nya, bahkan hewan-hewan yang hidup di hutan itu.
Ayah bercerita dengan tatapan yang penuh amarah. Hingga akhirnya hujan mulai reda dan Ayah kembali mengayuh sepeda, melanjutkan perjalanan.
            Keesokan harinya, pagi-pagi sekalli Ayah dan ibu bersiap ke kebun. Paadahal diluar hujan masih belum mau beranjak. Hujan sisa kemarin. Kata Ibu, hari ini adalah saatnya sayuran dikebun dipanen. Dan Ibu memintaku berdoa agar panen kali ini berlimpah, dan nantinya aku bisa membeli sepeda.
            Ayah dan Ibu pergi. Tinggal aku dan Inna berdua di rumah. Hujan semakin menderas. Kilatan cahaya tak henti-hentinya menghias langit yang menghitam. Suara petir seakan berguruh di atap rumah. Suasana rumah mencekam. Lampu mati.
Inna mulai ketakutan. Lengannya melingkar erat di pundakku. Aku terus menenangkan Inna, meski sebenarnya aku sendiri tak kalah takunya. Diluar keadaan semakin mencekam. Volume air semakin meningkat, tanaman sayur di pekarangan mulai terendam sebagian. Angin meniup pepohonan dengan kasarnya. Hingga ku lihat beberapa pohon tumbang di ujung jalan dekat rumah Mak Rohini.
                                                            ***
            Aku membuka mata, suara ramai diluar mengusik tidurku. Aku dan Inna terlelap di tengah amukan hujan. Kulihat pak Holid menghampiri aku dan Inna dengan wajah yang sulit ku ceritakan. Kemudian memlukku erat. Erat sekali. Sementara warga diluar rumah semakin ramai. Aku tak mengerti.
            “Bapak kenapa ada disini?“ Tanyaku pada Pak Holid dengan setumpuk kebingungan.
            Belum sempat Pak Holid menjawab, terdengar teriakan seorang perempuan dari luar rumah.
            “Rasiiih..!!!“ suara perempuan itu memanggil nama Ibu.
            Tanpa ku pikir lagi, ku hampiri suara itu. Melewati pintu yang telah terbuka oleh Pak Guru tadi. Pekarangan rumah penuh oleh kerumunan warga. Gerimis masih menyelimuti. Keadaan sekitar nampak kacau. Beberapa pohon tumbang,  menindih genteng rumah bagian depan.
            Aku mencari Ibu dalam kerumunan. Menyelusup tubuh-tubuh yang memagar. Aku menemukannya. Ibu berada di pangkuan Nenek. Terbaring tak berdaya. Badan Ibu lusuh. Hampir seluruh badannya terlumuri tanah basah.
            Aku mematung. Hanya air mata yang bergerak meliuk mengikuti garis wajah. Tak mengerti apa yang terjadi.
            “Ibu mu jadi korban tanah longsor Anna. Hujan tadi melongsorkan tanah bukit  hutan seberang yang berada tepat di atas perkebunan sayur warga.“ Pak Holid menjelaskan hati-hati. Sesak nafasku mendengar penjelasan Pak Holid saat itu. Ku coba terus meyakinkan diri bahwa Ibu tidak apa-apa, Ibu hanya pingsan sesaat.
            Berjam-jam aku menunggu Ibu membuka mata. Berjam-jam aku menunggu bibir Ibu tersenyum. Hingga rumah menjadi semakin ramai oleh sanak saudara dan warga, Ibu belum juga membuka mata apalagi tersenyum. Inna menangis menggenggam tangan Ibu yang dingin.
Ibu sudah rapi. Kain putih sudah sepenuhnya membalut tubuh Ibu yang tadi berlumur tanah. Beberapa lelaki itu mengangkat tubuh Ibu kedalam kurungan hijau, dan membawanya ke Mesjid terdekat. Ibu akan disholatkan.
            Ada apa dengan hari ini? Pikirku saati itu. Semua terjadi begitu cepat. Bukankah tadi pagi Ayah dan Ibu masih duduk dan sarapan bersama di meja bundar dekat pintu dapur itu? Bukan kah Ayah dan Ibu hanya pamit untuk memanen hasil kebun? Tapi kenapa keduanya tak pernah kembali?
            Ayah, aku baru mengingat Ayah ketika Ibu sudah rapi dan cantik dengan lembaran kain putih. Lagi-lagi Pak Holid yang memberikan kabar tentang Ayah. Sama buruknya dengan kabar kepergian Ibu.
            “Anna, Ayahmu belum ditemukan sayang. Anna berdoa yah mudah-mudahan Ayah baik-baik saja“ Pak Holid berkata sembari mengusap air di pipiku. Tapi ternyata, itu hanyalah pilihan kata Pak Holid agar aku tidak semakin terpukul. Yang sebenarnya ingin beliau sampaikan adalah JenazahAyah belum di temukan di tumpukkan tanah basah yang telah lebih dulu merenggut nyawa Ibu.
Dan betapa terkejutnya aku, ketika Pak Holid mengatakan bahwa kebun Ayah sama sekali tidak terkena longsoran tanah bukit hutan seberang. Padahal kebun-kebun disekelilingnya hancur, tak tersisisa. Oh, ya Tuhan. Mungkinkah ini semua kesalahanku? Selama ini aku hanya mendoakan kebun Ayah agar hasil panennya berlimpah lalu aku bisa membeli sepeda? Batinku mendesis kala itu. Aku Lupa meminta  keselamatan untuk Ayah dan Ibu.
Oh Tuhan, andai bisa ku tarik semua doaku kepada Mu. Aku hanya ingin Ayah dan Ibu tetap bersamaku dan Inna.
                                                ***
Gerimis semakin menderas. Bulir hujan semakin menebal. Memaksaku untuk segera meninggalkan dua orang yang aku sayangi di tempat ini. Dua nisan yang telah ku taburi bunga dan air wewangian. Tak lupa aku mengunjungi nisan di sebelah kiri Ayah. Mang Rosyid, suami Mak Rohini yang juga menjadi korban dalam peristiwa sepuluh tahun lalu.
Ayah, Ibu aku janji akan menjadi pendoa terbaik untuk kalian. Dan aku akan berusaha menjaga hutan-hutan di negeri ini, agar tak ada lagi yang terenggut nyawa akibat kerusakan hutan.


Komentar