INI TENTANG AKU DAN KESENDIRIANKU


01 Juni 2016
Imas Rismawati
Kamu tahu? Kadang aku begitu tak suka pada perubahan. Pada semua hal-hal baru. Aku sendiri tak mengerti dengan apa yang sebenarnya aku inginkan, dengan apa yang aku harapkan. Aku adalah orang yang tak begitu suka di keramaian, memilih menyendiri lalu kemudian terbunuh oleh rasa sepi yang aku buat sendiri.
Sejak kecil aku memang seperti ini, sulit sekali bisa bergaul dengan orang lain. Rasanya terlalu banyak ketakutan ketika berhadapan dengan mereka. Aku yang tak bisa mengimbangi candaan mereka, aku yang terkadang berbeda pendapat dengan mereka, aku yang begitu takut pada kesalahan ucapan dan perbuatanku. Hingga akhirnya dalam setiap percakapan aku lebih memilih diam dan tersenyum ketika mereka tertawa. Hal itu berlanjut hingga aku SMP. Aku mencoba menjadi seseorang baru dengan orang-orang baru di sekitarku. Tak ingin mereka tahu bagaimana sebenarnya aku. Mencoba untuk bisa bercnada, ikut tertawa tapi ternyata itu tidaklah mudah. Aku seperti menjadi orang lain, menjadi munafik dengan diri sendiri. Hingga akhirnya aku hanya dapat berbicara bebas dalam forum formal. Aku aktif dalam beberapa organisasi bahkan menduduki jabatan yang cukup di segani di sekolah. Hal itu aku lakukan agar aku bisa berkomunikasi dengan mereka, siapapun mereka. Tapi ternyata tetap tidak bisa, aku hanya pandai mengolah kata dalam forum formal. Di luar itu aku kembali pada diriku, tetap takut untuk berbicara, tetap tak bisa mengimbangi candaan teman-temanku. Candaan teman-temanku terkadang menurutku tak masuk akal. Mereka kadang menertawakan hal-hal yang tidak seharusnya di tertawakan. Misalanya saja mereka menertawakan bentuk fisik orang lain, atau terkadang menertawakan pola tingkah laku seseorang yang seharusnya kita hormati. Aku tak mengerti dimana letak kata lucu dalam candaan mereka, hingga aku bingung dalam kalimat sebelah mana aku harus tertawa. Atau memang aku nya saja yang tak pernah bisa masuk dalam kata candaan? Karena buktinya aku hanya dapat tersenyum hambar ketika mereka menertawkan hal lain. Bukan candaaan yang aku sebutkan sebelumnya. Entah, aku tak mengerti. Dan perlu kalian ketahui, itu rasanya sangat menyakitkan. Aku yang bertahan dengan kepribadianku yang hanya dapat tersenyum mendengar candaan orang lain, namun di balik itu semua ada harapan besar bahwa aku juga ingin seperti mereka, ingin bisa menertawakan hal yang sama dengan mereka, ingin sama-sama bercerita heboh tentang sesuatu. Tidak sendiri dan memendamnya dalam sepi.
Masa SMP berakhir, aku kembali menemui dunia baru. Orang-orang yang baru dengan suasana dan keadaan yang sepenuhnya berbeda. Tak seperti SMP yang sebagian orangnya masih aku kenal. Disini tak ada satupun yang aku kenal, dan tak ada satupun yang mengenalku.
Lagi-lagi aku mencoba untuk menjadi aku yang baru. Aku dengan segala ambisi dan harapan. Awal pertemuan, aku tetap sama. Lebih banyak mengunci mulut. Membiarkan mereka sama sekali tak mengenalku. Membiarkan aku di suruh dan mengikuti telunjuk orang lain. Iya, aku masih ingat bagaimana ketua di kelas sementara masa orientasi siswa itu menyuruhku. Aku seperti orang asing yang memang harus diasingkan. Dan aku tak suka hal itu.
Terhitung beberapa bulan kemudian, hampir semua kegiatan ekskul aku ikuti. Hampir dalam setiap pelajaran ku acungkan tangan bermaksud untuk bertanya. Padahal sebenarnya, aku tak terlalu peduli dengan pelajarannya, aku mengerti atau tidak itu buka persoalan. Aku bertanya, karena aku ingin bapak/ibu guru mengenalku lebih dari yang lain. Dan aku ingin menenggelamkan ketakutanku. Takut untuk berbicara dengan orang lain. Dan tentunya sedikit perasaaan sombong itu ada, perasaan agar teman-teman yang lain menganggapku ada.
Waktu terus berjalan, ku temukan diriku mulai mengenal rasa percaya diri. Meski tak jauh berbeda, tapi setidaknya aku dapat tertawa bersama kawan-kawanku. Menikmati setiap candaan yang terlontar dengan sengaja ataupun tidak sengaja. Dengan mereka aku merasa aku benar-benar ada. Aku benar-benar hidup. Dan semua itu tak harus dengan kepura-puraan, semua itu tak lagi harus di iringi rasa ‘aku yang ingin dianggap ada‘. Sama sekali aku tak pernah ingin merasa lebih unggul dari mereka. Yang aku ingin, aku bisa selalu bersama-sama dengan mereka (kawan sekelas).
Dimasa ini aku merasa benar-benar jadi diriku. Meski sikapku sebenarnya tak berbeda terhadap orang-orang selain mereka, tetap lebih banyak diam. Terkecuali dalam organisasi yang aku ikuti. Masa ini masa terindah. Meski mungkin hanya aku yang merasakan. Masa ini masa ketika aku menjadi aku. Ketika aku merasa ada. Masa ketika aku benar-benar mengerti persahabatan.
Betapapun aku meminta kepada Tuhan agar menghentikan waktu dan membiarkan aku berada dimasa ini lebi lama, Tuhan tetap tak mengabulkannya. Tuhan ternyata lebih suka aku yang terus tumbuh dan berkembang menjadi seseorang yang lebih dewasa. Tuhan ingin aku mengenal lebih banyak isi dunia.
Masa SMA berakhir. Beribu doa ku terbangkan berharap kehidupan yang akan datang dapat lebih baik atau setidaknya tidak lebih buruk dari masa SMAku. Kehidupan baru ku ternyata Tuhan takdirkan dikota yang cukup jauh dari tempat tinggalku. Namun kali ini aku tidak sendiri, aku bersama sahabatku yang di terima di universitas yang sama. Senang rasanya, karena tenyata Tuhan tak membiarkanku sendiri kali ini. Meskii pada kenyataannya, kesibukan yang berbeda membuat kami jarang bertemu. Hanya terhitung dua atau tiga kali pertemuan dalam satu semester.
Lagi. Dunia baru ku temui lagi. Kali ini aku benar-benar mencoba untuk menjadi orang yang dianggap ada oleh mereka. Kawan-kawanku yang baru. Berjuang dengan keras, berharap aku dapat mengulang kembali alur cerita SMAku ditempat ini. Dalam setiap matakuliah, dalam setiap kegiatan aku mencoba untuk menjadi orang yang aktif. Sebisa mungkin aku ingin menunjukkan bahwa aku layak di perhitungkan meski aku berasal dari daerah yang hampir semua kawanku tidak mengetahuinya.
Waktu terus berjalan. Entah kenapa lambat laun muncul rasa yang sama sekali tak aku harapkan. Aku tak lagi dapat seperti dulu, seperti awal kedatanganku. Aku mulai memperhitungkan setiap pertanyaan yang akan aku ajukan. Entah kenapa rasanya aku takut pertanyaanku tidak berbobot dan dianggap bukan hal yang harus di pertanyakan. Sejak itu, banyak sekali hal yang aku takutkan. Aku seperti kembali pada masa SMP, dengan semua ketakutanku. Lalu kemudian aku menarik diri dari keramaian. Merasa senang pada kesendirian kemudian jatuh hati pada sepi. Sebenarnya kawan-kawanku disini tak kalah baik dengan kawan-kawanku di SMA. Malah ada beberapa orang yang ku kira terlalu baik. Tapi kali ini bukan perihal baik atau tidak baik. Ini perihal kenyamanan.
Sebenarnya aku tidak benar-benar menarik diri, mana mungkin aku hidup soliter, seorang diri. Dan lagi pula banyak tuntutan tugas yang mengharuskan aku berkumpul dan berkomunikasi dengan mereka. Dan itu bukan masalah bagiku. Kawan-kawanku pun sering menasehati agar aku tak terlalu sering berjalan sendiri. Tapi itu aku. Aku dengan kenyamananku yang baru.
Apa aku tidak merasa sepi? Itu pertanyaan yang biasa aku dengar.
Tentu saja aku merasakan. Betapapun aku menyenangi kesendirian, aku tetap manusia yang juga merasakan sepi. Sepi yang terkadang membuatku berpikir banyak tentang kehidupan, terutama hidupku sendiri. Tapi telah aku katakan sebelumnya, aku jatuh hati pada sepi. Betapapun sepi mencoba menyakiti, tapi ia tetap kenyamanan bagiku.
Sering aku berpikir untuk mencoba membuka diri. Hingga akhirnya aku kembali mengikuti organisasi baik tingkat jurusan ataupun fakultas. Kembali bertemu dengan orang-orang baru, dan mencoba membaur dengan mereka. Mencoba menemukan diriku lagi dalam diri mereka. Apakah berhasil? Secara fisik mungkin berhasil, aku lebih sering menghabiskan waktuku dengan sekumpulan orang. Intensitas menyendiriku jauh berkurang, bahkan untuk sekedar duduk di bangku perpustakaan seperti yang biasa aku lakukan  pun mulai terasa sulit .
Tapi yang aku herankan, betapapun sering intensitasku bertemu dengan mereka, kenyamanan itu tak kunjung tumbuh. Aku tetap canggung dan harus berpikir ketika akan berkata. Aku tetap bingung ketika akan bertegur sapa. Tidak seperti yang lain yang hanya melambaikan tangan kemudian tersenyum dan mengobrol akrab. Terkadang merasa ada yang salah denganku. Kenapa aku tak bisa seperti mereka. Hingga sempat aku berpikir aku akan resign dari organisasi yang aku ikuti. Pemikiran pecundang yang tertunduk kalah oleh ego sendiri.
Aku menemukan kata ‘introvert‘ kata yang menggambarkan seseorang yang takut dengan keramain. Tapi aku bukan takut, hanya tidak nyaman. Entah seperti apa aku mendeskripsikannya. Untuk saat ini aku hanya mencoba untuk bisa lebih terbuka. Karena aku tahu, hidup bukan untuk di nikmati seorang diri. Meski aku menikmati kesendirian. Banyak hal yang kelak aku butuhkan dari mereka. Tapi bukan berarti aku mati-matian mencoba menjadi orang lain. Dan menenggelamkan pribadiku. Biarkan alur kehidupan yang menuntunku. Aku hanya harus pandai menguasai diri, kapan aku harus memeluk sepi dan kapan aku harus membunuh sepi itu.

Komentar