Kapan Kita Putus?






Tujuh tahun lalu aku mulai mengenalmu. Menyimpan sejuta kagum terhadapmu. Kamu membuat liburanku kala itu terasa semakin lengkap.
Dulu aku memang sering di ajak sepupuku berlibur ke rumah ayahnya. Karena semenjak ayah dan ibunya bercerai, ia terpisah jarak yang cukup jauh dari ayahnya. Karena itulah ketika musim liburan tiba, ia selalu ingin menghabiskannya bersama ayah dan keluarganya, di daerah pesisir sana. Aku pun sering di ajaknya. Katanya aku bisa menemaninya di perjalanan. Aku memang sepupu yang baik. Meski aku masih duduk di bangku SMP saat itu, tapi Ayu ~nama sepupuku~ sering mengatakan aku adalah teman curhat yang baik. Tentu saja. Bagaimana tidak, aku lebih banyak diam dan menjadi pendengar yang baik ketika ia bercerita. Tak banyak berkomentar. Mungkin seperti itulah yang ia anggap baik.
Saat itu aku memang hanya sekedar kenal. Meski sebenarnya secara tak sadar ada perhatian lebih yang ku taruh padamu. Ada pandangan dengan intensitas lebih terhadap sosokmu. Dan aku tahu kamu pun demikian. Kamu sering sekali terlihat gugup ketika di depanku. Masih ingat dulu, karena begitu gugupnya kamu menjatuhkan benda disamping mu. Lalu kemudian tersenyum malu kepadaku.
Saat itu tak banyak yang aku tahu tentang mu. Dan ku rasa begitu pun sebaliknya. Karena pada sasat itu, memang sahabatmu lah yang lebih akrab ~sok akrab tepatnya~ denganku.
Di malam terakhir liburanku, aku mendengar kamu bernyanyi. Tak begitu jelas lirik dan nadanya. Satu kalimat yang berhasil aku ingat ‘Hari ini ku dendangkan’. Ya, hanya satu kalimat itu yang benar-benar jelas terdengar. Tahukah kamu? Satu kalimat itu ku ingat-ingat selalu. Ku tanyakan pada teman-teman yang ahli di bidang musik. Dan akhirnya aku tahu, itu adalah lirik lagu dari grup band J-roks dengan judul Ceria. Sejak itu sering sekali aku menyanyikan lagu itu dan mengaku menjadi J-roks star meskipun hanya sesaat.
Di tahun berikutnya, Ayu mengajakku berlibur bersama lagi. Tentu saja aku mau. Selama setahun itu aku memang menanti-nanti liburan semester. Tepatnya menanti untuk bertemu denganmu.
Di tahun kedua itu, akhirnya aku kembali bertemu dengan kamu. Kali ini tak hanya sekedar kenal namamu, Very Dian Koswara. Lebih dari itu. Akhirnya kamu mengatakan kamu menyimpan rasa yang berbeda terhadapku.

***
“Gisha, bagaimana jawabanmu?” tanyamu setelah kamu mengungkapkan perasaan itu.
Aku diam cukup lama. Bingung. Meski di sudut hati yang lain ada rasa senang menyelinap. Aku ragu, mungkinkah kamu yang sudah duduk di kelas XI benar-benar menyukaiku yang kala itu masih duduk di kelas VIII. Apalagi aku tahu, kamu seorang aktivis dan juga seorang vokalis band sekolah mu. Laki-laki macam kamu, apakah mungkin tidak memiliki tambatan hati di sekolah.
“Gisha belum bisa jawab sekarang Kak” kataku polos.
“Ok, nanti malam aku tunggu jawabanmu” kamu berdiri hendak meninggalkanku.
“Enggak Kak. Besok Gisha kasih  jawabannya” aku mengulur waktu.
“Baiklah, besok Kakak tunggu.” Kemudian kamu berlalu begitu saja. Meninggalkanku dalam diam.
            Keesokan harinya, kamu menagih janjiku. Kembali melayangkan pertanyaan yang kamu tanyakan kemarin. Lagi-lagi aku diam, kali ini aku bingung bagaimana cara mengatakan apa yang ingin ku sampaikan. Kemudian aku hanya mengangguk pelan. Kamu bertanya sekali lagi memastikan, dan aku mengangguk lebih yakin. Kamu tersenyum, tak dapat ku baca itukah senyum bahagia kamu atau ada maksud  lain di balik senyummu itu. Kamu mengepalkan tanganmu, menyisakan jari kelingking yang tak ikut merunduk dengan jari yang lain.
            “Apa ini?” tanyaku bingung melihat tanganmu di depan wajahku.
            “Mana kelingkingmu?” tanyamu lagi.
“Untuk apa?” tanyaku masih tak mengerti.
“Ini tanda bahwa aku dan kamu ada dalam satu ikatan” katamu dengan senyum yang membuatku semakin membisu.
            Aku hanya tersenyum. Kemudian mengikuti apa yang kamu katakan. Jari kecil kita terpaut, menandakan bahwa kita berada dalam satu ikatan seperti katamu. Tak terkira bahagianya aku saat itu. Rasa bangga karena memilikimu.
Ayu, sepupu ku pun sangat senang ketika aku ceritakan tentang hubunganku denganmu. Lalu dia menceritakan banyak hal yang dia tahu tentang kamu. Menceritakan semua kebaikan-kebaikan kamu. Membuat senyumku semakin melebar mendengarnya.
            Hingga malam perpisahan itu tiba. Aku berharap akan bertemu denganmu sebelum aku pulang. Tapi ternyata tidak. Kamu tidak menemuiku. Hingga ku dengar dari kawanmu, kamu sakit hingga tak bisa menemuiku malam itu. Aku tak tahu kabar itu benar atau tidak, entah kenapa aku merasa ragu. Pasalnya kemarin sore kamu baik-baik saja. Bercanda gurau dengan teman-temanmu dan aku hanya menatapmu dari rumah disebrang jalan, sore itu.
            Pagi menjelang, kamu tak kunjung datang. Padahal kamu pun tahu akan lama sekali aku kembali ke tempat itu. Akan butuh waktu lama untuk kita bertemu kembali. Kecewa sudah tentu. Tapi saat itu aku mencoba untuk tetap berpikir positif, bahwa kamu sedang sakit. Akhirnya aku pulang dengan harapan yang  kosong.
            Satu hari, dua hari, ku tunggu kabarmu. Hingga satu minggu setelah kepulanganku, baru aku tahu nomor mu sudah tidak aktif. Sebulan, dua bulan masih ku tunggu. Ku coba tanya pada Ayu perihal itu. Kemudian Ayu memberi kabar bahwa kamu sedang dalam kondisi sulit. Mungkin saja handphone mu juga terjual untuk memenuhi kebutuhan hidup. Baiklah, aku mengerti kondisi itu. Mengerti juga dengan kemungkinan yang disampaikan Ayu. Aku kembali menunggu, hingga satu bulan kemudian aku kembali bertanya pada Ayu.
Setelah Ayu menghubungi kawan mu, Ayu memberi kabar kepadaku,. Kabar yang membuatku menyesal telah menunggumu.
            “Gis, Very bilang kamu masih anak SMP. Nanti kalau kamu sudah SMA, baru dia akan serius sama kamu.” Itu perkataan Ayu saat itu.
            Aku  tak tahu harus berkata apa. Kecewa, atau bahagia karena terbebas dari ketidakpastian beberapa bulan lalu. Entah apa maksudmu melakukan  semua itu terhadapku. Aku tak pernah tahu.
Pertemuan tahun itu adalah benar-benar pertemuan terakhirku denganmu. Aku tak bisa lagi menemuimu. Karena  sejak saat itu keluargaku berselisih dengan keluarga Ayu. Membuat kami pun serasa ikut berselisih. Dan Ayu tak pernah lagi mengajakku berlibur bersamanya.
            Beberapa tahun berlalu begitu saja. Tanpa pernah ada sedikit pun kabar darimu. Bahkan sampai hari ini. Sampai aku berada di tingkat dua di salah satu universitas di Jakarta. Ingin aku mengatakannya padamu. Menagih janjimu jika aku berada di jenjang SMA, yang saat ini bahkan telah aku lewati jenjang itu.
Sebenarnya aku selalu menunggumu. Tak pernah ku ganti nomor telepon yang dulu pernah aku berikan padamu, berharap kamu akan menghubungi. Namun tetap tak ada.  Enam tahun yang penuh dengan  harapan semu. Harapan bahwa kita akan bertemu, agar aku segera mengetahui jawaban dari dari pertanyaanku sendiri, ‘Kapan kita putus?’.

Komentar