Hiruk pikuk
lorong kampus begitu ramai. Hilir mudik mahasiswa tak pernah sepi. Udara siang ini pun cukup membuat tubuh
berkeringat, tapi sedikit terobati setelah aku singgah sejenak dimushola lantai
bawah tadi. Ya, tempat berukuran 4x5 meter itu selalu menjadi tempat ampuh
penangkal panas.
Jam ditangan
menunjukkan pukul 12.30. Saatnya aku kembali ke
kelas. Belajar. Menaiki anak tangga menuju lantai tiga bukan perkara
mudah di tengah hari seperti ini. Cukup menguras tenaga, dan menguras air liur
hingga kerongkongan terasa kering.
Akhirnya anak
tangga terakhir berada di depan mata dan dengan sisa tenaga yang ada ku
langkahkan kaki kananku sedikit keras hingga terdengar seperti langkah orang yang
marah. Bukan karena tak terbiasa atau bagaimana, aku sudah sangat terbiasa,
karena 8 bulan cukup bagiku untuk bersahabat baik dengan anak tangga ini. Aku
sendiri bingung, kenapa anak tangga yang tak seberapa jumlahnya ini mudah
sekali membuatku menghela napas lelah. Padahal dari dulu aku terbiasa berjalan
jauh, bahkan ketika SMP dulu aku harus menempuh perjalanan kurang lebih 3 KM untuk
sampai disekolah, itu pun dengan kondisi jalan yang tak rata. Beberapa kali
harus turun naik melewati turunan dan tanjakan. Terlebih jika ingin cepat sampai,
kami para anak desa seberang harus melewati hutan dengan jalan setapak yang selalu
tertutup daun kering. Selalu mengasyikkan jika mengingat masa-masa itu.
Pintu cokelat
bertuliskan R.3.04 itulah yang menjadi tujuanku hari ini. Tepat dihadapanku.
“Huuft
akhirnya” Ucapku lega. Ku buka daun pintu dengan perlahan, takut kalau ternyata
dosen sudah ada di dalam. Sedikit tegang, dan
lagi ku hembuskan napas lega ketika kursi di dekat papan tulis itu masih
kosong. Jangankan dosen, mahasiswanya saja baru terkumpul lima orang. Merekapun
menengokku dengan ekspresi kaget, mugkin mereka menyangka aku adalah dosen. Dan
selanjutnya terlihat wajah lega dari kelima mahasiswa dihadapanku ini.
“belum masuk?”
tanyaku basa basi.
“belum La.”
Jawab salah satu kawanku yang nampak asyik dengan bukunya.
Benar-benar rajin orang yang
satu ini, belum ada dosen saja sudah pegang-pegang buku. Pujiku dalam hati.
Bebeda sekali
dengan empat kawanku yang lain, yang lebih asyik dengan handphone dan
laptopnya.
Aku menyimpan
tasku di kursi paling depan. Bersebelahan dengan Rani yang tengah asyik dengan
laptopnya. Bingung apa yang harus aku kerjakan. Mencari ide dan oh, hampir lupa
aku belum menyelesaikan laporan praktikum minggu kemarin. Akhir-akhir ini
laporan memang seolah menjadi sampah yang harus segera dibersihkan, sebelum
menumpuk dan mengakibatkan masalah yang lebih besar. Buku dan laptop kembali
menjadi kawanku sekarang, mengarungi waktu dengan tujuan yang sama, mengerjakan
tugas.
Teman-teman
yang lain berdatangan, kelas mulai ramai dengan dengan candaan dan
obrolan-obrolan yang nampaknya seru bagi mereka. Aku mulai bosan, kulihat jam
sudah pukul 13.00, seharusnya sejak tadi dosen berada dikelas ini.
Suara kelas
mulai menggaduh, mulai meggaggu konsentrasi pembuatan laporanku. Aku keluar,
mecoba mencari sedikit ketenangan. Di depan kelas dekat tangga itu menurutku
tempat yang cocok. Setidaknya disini tak terlalu gaduh. Tak terdengar celotehan
celotehan yang terkadang memang memekakkan telinga. Aku memang termasuk orang
tak begitu suka dengan keramaian.
Beberapa saat
kemudian aku kembali tenggelam dalam tumpukkan kertas yang tadi ku bawa.
Mengerjakan laporan.
“Hei
kupu-kupu, tunggu tunggu” terdengar suara yang tak begitu asing.
Aku mendongak,
ternyata itu suara Rani yang sedang mengejar kupu-kupu. Apa? Kupu-kupu? Gumamku.
Aku menyipitkan mata mencoba meyakinkan. Pasalnya sedikit aneh dan tak biasa menemukan
kupu-kupu ditempat ini. Gedung yang kaca dan jendelanya hampir selalu tertutup.
Sayapnya yang
indah kini sempurna terlihat, kepakkannya seolah memaksaku untuk memerhatikan
warna warni tubuhnya. Mengalihkan sejenak fokusku. Melintas dengan anggun di
hadapanku. Aku merasa sayap-sayapnya kini tengah memelukku memintaku untuk ikut
dengannya. Menjelajahi dunia luar, menghirup udara segar yang disediakan oleh
alam. Meninggalkan tumpukan kertas dan ruangan pengap yang selama ini
memenjarakan pikiranku. Menjadikanku pribadi yang egois, tak lagi peka dengan
keadaan sekitar terutama keadaan alam.
Aku berdiri,
melepaskan kertas-kertas yang tadi ku genggam erat. Membiarkan pelukan hewan
kecil ini menguat, kemudian membawaku terbebas dari semua beban pikiran. Jiwaku
mulai terbang, mengikuti jejak kupu-kupu yang tadi memelukku erat. Terbang melintasi
gerbang yang hampir satu tahun ini menjadi saksi perbudakanku oleh tugas-tugas
yang mengganas. Senyumku melebar, kala aku terbang lebih jauh, lebih tinggi. Bahkan bisa kulihat deret kendaraan yang
terkadang membuatku geram dengan kemacetannya kini mengecil tak nampak lagi satu
per satunya yang nampak hanyalah kepulan asap dari kendaraan-kendaraan itu.
Kulewati
rimbun hutan nan menghijau, aliran sungai yang terlihat seperti labirin yang
meliuk-liuk, dan hamparan sawah yang terlihat lebih indah dari atas sini.
Terbangku merendah ketika melewati hamparan sawah. Ku nikmati kebebasan ini,
benar benar nikmat. Ku perhatikan rundukkan padi yang berisi, menguning,
membuat mata tak bosan memandang. Mengingatkan masa kecilku dulu dengan ayah.
“Ayah!!”
mulutku refleks megucapkanya ketika aku melihat sosok tinggi kurus di
tengah-tengah kerumunan padi yang menguning.
Ayah tak
mendengarku, tak juga melihatku. Ayah sedang mencangkul sembari memeriksa padi
takut takut ada hama yang malah akan mengurangi hasil panennya.
Aku mendarat,
memilih duduk di pembatas sawah dekat ayah mencangkul. Membiarkan serangga
bersayap indah itu terbang tanpaku. Ku perhatikan tubuh ayah yang nampak lelah,
namun tetap berdiri kokoh menyelesaikan pekerjaannya. Terik matahari tak ayah
jadikan alasan untuk mengeluh dan berhenti. Entah berapa banyak keringat yang
menetes, hingga kaos putih lusuh yang ayah kenakan terlihat membasah di semua
bagian.
Tanganku
menyeka air mata yang ternyata tak terbendung menyaksikan perjuangan ayah di
tempat yang lebih tidak mengenakkan dari tempatku di kampus, mengerjakan
pekerjaan yang lebih berat dari tugas-tugas yang ku anggap sangat berat selama
ini. Kampusku bersih, setidaknya tak ada lumpur basah yag menenggelamkan tubuh
hingga lutut. Alat kerjaku hanyalah kertas dan pulpen bukan cangkul besar yang
untuk mengangkatnya saja memerlukan energi berlebih. Keterlaluankah aku selama
ini? Meremehkan dan mengkhianati perjuangan orang tuaku. Di tengah
perenunganku, aku melihat kupu-kupu yang tadi menerbangkanku kembali. Dan hei..
siapa yang berada dibelakangnya. Satu orang wanita dewasa yang menuntun anak
perempuan di samping kanannya. Perlahan mendekat, semakin jelas perawakan dan
wajahnya. Langkahnya terhenti ketika dihadang oleh jembatan kecil dari kulit
batang kelapa yang menghubungkan hutan dan daerah persawahan. Lantas ku lihat
sang wanita membungkuk, membiarkan akan kecil itu naik kepunggungnya dan
melewati jembata kecil itu bersama-sama.
Langkah mereka
semakin dekat, namun pandanganku semakin mengabur karena air dimataku semakin
meluap ketika aku mengetahui bahwa kedua orang itu adalah Ibu dan adik bungsuku.
Rasa rindu bercampur haru kini sempurna melilit jiwaku. Memeras air mata tanpa
ampun.
Ibu datang
membawa bekal untuk ayah, memang sudah saatnya untuk ayah istirahat dan makan
siang.
“Ayah makan
dulu” adikku berseru memanggil ayah dengan suara khasnya.
Ayah hanya
menoleh dan tersenyum. Dalam beberapa langkah, ayah sampai di bawah pohon
durian yang dijadikan tempat berkumpul untuk jamuan makan siang hari ini.
Aku ikut
mendekat, mendengarkan obrolan-obrolan
ringan ayah dan ibu yang kadang diselingi celotehan adik. Ingin sekali rasanya
aku ikut menyambung obrolan mereka, tapi tak bisa. Aku hanya bisa mendengar.
Saat tengah berada dalam
kehangatan keluarga, terdengar suara perempuan memanggil namaku.
“La, Lala..”
suaranya mengeras.
Dan dalam
sekejap aku kembali ke gedung beruangan pengap ini, meninggalkan hamparan padi
yang menguning.
“Lala.. bangun
la, sudah ada dosen.” Suaranya semakin memaksa.
Mataku perlahan terbuka, terlihat wajah Rani yang cemas dengan orang-orang yang berlalu lalang di belakangnya.
Mataku perlahan terbuka, terlihat wajah Rani yang cemas dengan orang-orang yang berlalu lalang di belakangnya.
“Cepat la
masuk, sudah mulai belajar” Suara Rani menjauh meninggalkan ku yang masih duduk
lemas di dekat tangga.
Aku melihat sekitar, mencoba
mencerna apa yag terjadi.
“Ini hanya
mimpi?” gumamku pelan.
Aku berdiri perlahan
dan membereskan lembaran kertas yang nampak lebih berantakan. Terlihat kupu-kupu indah itu melintas kembali
dihadapaku. Aku tersenyum. Menyeka air mata yang ternyata benar-benar sempat
mengalir. Menghela napas sejenak, kemudian melangkah dengan pasti menuju ruang
pengap yang akan menambah wawasan dan tentunya ruangan yang lebih baik dari
sawah tempat ayah bekerja.
Entah apa yang
terjadi siang ini, nyata atau hanya mimpi aku tak peduli. Yang jelas aku harus
terus berjuang, memperkuat tekad untuk menggali ilmu lebih dalam. Dan senyuman
mereka, orang-orang terkasih akan menjadi cambuk abadi dalam hidupku.
Terimakasih wahai
Kupu-kupu.
Komentar
Posting Komentar