Ini aku. Seorang gadis yang pernah bercerita mengenai
kesendirirannya di lembar yang lain. Statusku saat ini adalah mahasiswa
semester lima. Memasuki semester dewasa. Saat ini aku memutuskan untuk
mengenakan jilbab dan mudah-mudahan bisa seterusnya (InsyaAllah). Meskipun
belum sepenuhnya dapat berperilaku dan berpakaian sesuai dengan anjuran, aku
tetap bersyukur di pertemukan dengan kain penutup aurat ini. Karena jika di
lihat dari riwayat hidupku maka tak ada tanda-tanda aku akan bertemu dan jatuh
cinta pada kain surga ini. Sejak kecil, aku lebih cenderung berperilaku
maskulin. Meski Ibu sering mendandaniku seperti boneka dengan kepang dan
kuncirannya yang variatif. Ketika SMP aku mengikuti berbagai cabang olahraga
seperti basket, tenis meja dan voli. Bukan karena paksaan dari siapapun tapi
karena aku memang suka olahraga. Tak jarang aku mengikuti kejuaraan tingkat kota,
meskipun terkadang hanya duduk di bangku cadangan. Tak apa. Bagiku itu tetap
sebuah kebanggaan.
Sisi maskulinku perlahan menghilang ketika aku di
pertemukan dengan kerudung. Dari SD sebenarnya aku sudah mengenakannya, tapi
hanya untuk pergi ke sekolah. Di SMA, Aliyah lebih tepatnya aku bertemu dengan
orang-orang yang begitu menghormati kerudung. Mengenakannya dengan sempurna.
Bukan hanya untuk menutup kepala bagian belakang sedangkan rambut depan alias
poni bergaya dengan sombongnya. Aku bertemu atau mungkin di pertemukan dengan
mereka yang memuliakan kerudung. Mengenakannya kemanapun dan kapanpun mereka
pergi. Aku sebenarnya tak berani membandingkan mereka denganku. Malu sudah
terlebih dulu datang setiap kali berpapasan dengan wajah-wajah teduh berhias
senyum itu. Ku pandangi diriku sendiri. Sepatu olahraga, celana jeans yang sedikit
kebesaran, kaos lengan panjang tipis yang terpotong sampai pinggul, dan
kerudung paling tipis dengan bayang-bayang rambut yang... aduuh tak sanggup aku
menceritakannya.
Aku datang ke Aliyah sebenarnya sebagai orang yang
tersesat. Tersesat begitu jauh. Tujuanku adalah SMA. Dengan niat mengembangkan
olahraga yang telah ku ikuti di SMP. Tapi Ayah bilang SMA yang ku inginkan itu
terlalu jauh. Maka terpaksa aku masuk gerbang yang bertuliskan MAN 1 Pandeglang
yang ternyata dulunya adalah PGA (Pendidikan Guru Agama). Serasa mimpi buruk.
Aku seperti memungut kembali ludahku. Asal tahu saja, aku pernah mentertawakan
dan (sedikit) mengejek kawanku yang berniat melanjutkan sekolah ke tempat ini.
Bahkan dengan sombongnya aku mengatakan bahwa aku tak akan mau memakai kedung
MAN yang seperti taplak meja. Sambil tertawa-tawa dengan kawan yang lain.
Setelah tahu bahwa Ayah berniat menyekolahkan ku ke MAN, aku promosi
habis-habisan, mengajak teman-temanku yang lain agar mau menemaniku sekolah di
MAN, menemaniku memakai kerudung taplak meja. Dan tak satupun yang tertarik
dengan ajakanku. Mereka sudah terpengaruh oleh ejekan yang ku buat sendiri.
Bukan
ini sebenarnya yang ingin aku ceritakan. Tapi tak apa, memperpanjang cerita.
Biar tahu secara detailnya kapan dan bagaimana asal muasal aku hidup di sekolah
dengan kerudung taplak meja. Sejak hari pertama, kami siswa baru sudah di
wajibkan memakai kerudung taplak itu. Sebenarnya yang ku maksud dengan kerudung
taplak itu adalah kerudung segi empat yang tebal, tidak tembus pandang dan sedikit kaku. Tentu saja aku belum sempat
membeli kerudung ini. Maka aku dan Ibu berkeliling rumah tetangga mencari kerudung
taplak. Sulit memang, tapi akhirnya dapat. Kerudung putih polos hanya ada noda
getah di salah satu sudutnya. Entah berapa kali aku mencoba memakai kerudung ini di
kepalaku. Tapi gagal. Aku menyerah, lagi pula kalaupun aku bisa mengenakan
kerudung ini pasti akan berantakan kembali tertiup angin di jalan. Maka aku
memutuskan membungkusnya. Ku kenakan kerudung langsung pakai yang biasa ku
pakai saat SMP. Pamit pada Ibu dan pergi kesekolah bersama Ayah.
Sampai disekolah, satu tempat yang ku cari. Kamar mandi.
Bukan karena aku ingin buang air, tapi aku bermaksud memakai kerudung taplak
yang telah ku bungkus tadi pagi. kerudung ini benar-benar kaku, sulit sekali ku
atur. Mungkin karena aku yang belum terbiasa atau mungkin juga karena aku
tergesa-gesa. Aku menyudahi mengutak atik kerudung taplak ini. Pikirku meskipun
seharian aku membolak-balik kerudung ini hasilnya akan tetap sama. Berantakan.
Aku menyerah dan pasrah. Keluar kamar mandi dengan percaya diri yang minim, ku
perkirakan kurang dari 30%.
Tak ada satupun yang aku kenal, semestinya hal ini
menguntungkanku. Setidaknya tak ada orang yang ku kenal yang melihatku dengan
keadaan seperti ini. Baju karung bekas, tas kardus, topi bola yang di belah
dua, huaaaaa persis sudah gelandangan di pinggir jalan sana. Di kelas aku lebih
banyak memperhatikan kerudung. Kerudung ini seperti sengaja mempermainkanku.
Genit sekali mengikuti arah angin, melencong ke kiri melencong ke kanan. Sama
sekali tak peduli dengan kekesalan yang mengenakannya.
Akhirnya waktu yang di tunggu tiba. Bel tanda pulang itu
akhirnya berbunyi. Tak ada yang ku pikirkan lagi. Aku sudah tidak tahan memakai
kerudung ini. Kepalaku rasanya ikut pusing. Segera kembali ke kamar mandi dan
berganti kerudung. Huuuft.. lega rasanya. Aku menunggu Ayah di gerbang sekolah.
Dan tiba-tida seseorang menegurku dari samping. Seorang perempuan manis dengan
perawakan tinggi besar. Aku lupa nama gadis ini. Yamg aku ingat, dia teman
sekelasku. Dengan tak canggung dia memperkenalkan dirinya. Dehil. Aku sempat
bingung mendengar namanya. Tapi kemudian dia mengatakan ‘Dede Hilalliah,
panggil saja Dehil‘. Aku mengangguk tanda mengerti. Dehil, yang kemudian menjadi
teman sepemikiranku yang sama-sama tidak menyukai ketua kelas kami saat itu.
Dehil yang kemudian menjadi bagian keluarga di kelas IPA 1, karena aku dan
Dehil tak pernah terpisah kelas sampai kami lulus. Saat pertama bertemu dengan
Dehil, ia sedang makan siang. Makan lontong sayur yang nampaknya biasa mangkal
di depan sekolah ini. Aku juga sempat heran, ini hari pertama kami masuk
sekolah, tapi kenapa Dehil dan Bapak tukang lontong sayur ini begitu akrab.
Seperti orang yang sudah kenal lama. Dan
sekarang aku tahu, Dehil memang gadis supel yang bisa dengan mudah berkawan
dengan siapapun dan dimanapun. Dehil juga sempat menanyakan perihal kerudungku
yang berbeda dengan yang lain, ku jawab saja dengan jujur bahwa aku belum
terbiasa mengenakan kerudung taplak ini. Berbeda seperti ia yang nampaknya
sudah terbiasa. Karena terlihat, kerudungnya begitu rapi dan cantik membalut
wajahnya.
Hari kedua. Tak jauh dengan hari pertama, aku masih
memakai stategi berganti kerudung. Kali ini aku bersiap dengan membawa cermin,
berharap dapat lebih mudah nantinya. Tapi masalahnya aku tidak punya cermin
kecil, akhirnya terpaksa ku bawa bedak Ibu yang ada cerminnya. Itu pun tanpa
sepengetahuan Ibu, karena sudah pasti Ibu tidak akan mengizinkan.
Aktivitas hari
kedua lebih banyak di habiskan di Aula sekolah. Kegiatan dikelas hanya untuk
latihan yel-yel dan makan siang. Malas sekali aku bernyanyi-nyanyi sambil
bertepuk tangan mengikuti ketua kelas yang kurasa sejak tadi selalu melihat ke
arahku. Berulang kali ia dan kakak pembimbing meminta kami untuk lebih
semangat, katanya agar menjadi kelas yang terkompak. ‘Huaaaa.. kompak apanya'
pikirku kesal.
Saat makan siang tiba, kami kembali ke kelas. Tak seperti
hari kemarin, kami langsung membuka bekal kami yang berisi kabel telepon dan
mata sapi. Itu yang di perintahkan kakak pembimbing kami. Hari ini tiga Kakak
pembimbing yang dua diantaranya sok galak ini akan memberi pengumuman terlebih
dahulu. Mereka mengambil beberapa benda dari meja, dan menunjukkannya pada
kami. dan Oh Tuhaaan... salah satu benda itu milikku. Kak Tini (sebut saja
begitu) memegang bedakku, bedak Ibu maksudku. Ia lalu berkata bahwa benda-benda
yang mereka sita itu adalah benda yang tidak boleh di bawa ke sekolah. Kak
Fauzi (disamarkan) menyebut-nyebut itu termasuk pelanggaran. Lalu ia mengambil
bedakku dan mengangkatnya tinggi-tinggi agar terlihat oleh semua siswa.
Menanyakan milik siapa benda itu. Ah mereka salah paham. Mereka pasti mengira
aku kecentilan membawa bedak Ibu-Ibu itu ke sekolah. Tak ingin rasanya aku
mengakuinya. Tapi tangan ini sudah terangkat, mengakui bahwa benda terlarang
itu milikku. Entah apa yang di pikirkan mereka sekarang. Kalau boleh ku tebak,
mereka pasti berpikir, centil pake bedak tapi jelek mah jelek ajah.
Huaaa Ibu aku ingin berhenti sekolah. Andai bisa mengatakan itu pada Ibu.
Tapi beruntung Kak Latif (yang ini tidak di samarkan)
masih membela kami yang seolah menjadi tersangka. Membiarkan kami membawa
kembali benda-benda itu, dengan syarat tak akn membawanya lagi ke sekolah. Ingin
rasanya berterimakasih pada Kakak yang satu ini. Karenanya aku terbebas dari
omelan Kak Tini, Kak Fauzi dan tentu saja omelan Ibu. Tapi meskipun dua Kakak
pembimbingku ini jutek dan terkesan galak, pada akhirnya aku tahu mereka adalah
orang-orang yang baik bahkan humoris. Aku mengetahui ini ketika aku bergabung
di pramuka dan paskibra yang ternyata mereka adalah seniorku juga di organisasi
itu.
Hari ketiga sekaligus hari terakhir ospek sekolah. Hari
yang kutunggu. Di hari ini kami harus membawa bingkisan untuk Kakak pembimbing
tercinta. Katanya hanya untuk salah satu pembimbing. Kami harus memilih. Ingin
sekali rasanya aku memberikan kado beserta surat kecil ini pada Kak Latif
sebagai ucapan terimakasih. Tapi aku tak tahu kado yang cocok untuk laki-laki.
Aku tak punya banyak waktu untuk pergi berbelanja. Akhirnya kado dan ucapan
terimakasih ini ku berikan pada Kak Tini, karena isi kadoku adalah dua bros
bunga yang belum pernah aku pakai.
Ospek sekolah berakhir. Sesuai keinginan ketua kelas dan
pembimbing, kelas kami menjadi kelas terkompak plus ketua kelas mendapatkan
penghargaan dengan kategori ketua kelas terdisiplin. Aku dan Dehil hanya
mengeluh di belakang.
Setelah ospek berakhir maka dari sini kehidupan putih
abu-abu di temani kerudung taplak mejaku di mulai. Beribu kisah berjuta cerita.
Komentar
Posting Komentar