Tak Ada Kedua dan Ketiga





“Kriing kriing” handphone yang ku letakkan di atas bantal berdering.
‘Siapa sih,. Mengganggu saja‘ umpatku dalam hati. Aku baru saja memejamkan mata. Lelah setelah seharian beraktivitas. Waktu masih menunjukkan pukul 19.00, tapi aku sudah tidak sanggup untuk tidak merebahkan tubuh. Sepertinya hari ini aku benar-benar lelah, kegiatan kampus hari ini benar-benar menyita banyak energi.
“Hallo Fa..“ sapa ku.
“Ra, malam ini aku menginap di rumah mu yah?“ Terdengar suara dengan isak dari ujung telepon.
“Eh Fa? Kenapa?“ Aku mencoba membuka kelopak mata yang baru saja tertutup.
“Nanti aku ceritakan. Aku kesana sekarang yah“ suara Difa terdengar lebih berat.
“Lho Fa, tapi...“
Tut.. tut.. tut..
Belum selesai aku berbicara, telepon sudah terputus. Tadinya aku ingin mengatakan, bahwa malam ini aku lelah sekali. Dan memintanya datang esok hari. Tapi terlambat. Pintu kamarku sudah ada yang mengetuk, itu tandanya Difa sudah ada di depan kamar.
“Ra, aku harus bagaimana?” gadis bermata sipit itu tiba-tiba merengek di hadapanku.
“Apa nya sih?” Aku yang baru memuka pintu kamar, tak mengerti.
”Ra, aku bertengkar dengan Ka Rival” tangis Difa pecah seketika.
‘Hufh.. kan sudah ku duga. Kak Rival lagi‘ keluh ku dalam hati.
“Kenapa lagi kalian? Senang sekali bertengkar sepertinya“ kataku asal.
“Iya, Ra.. begini ceritanya...“
Difa kemudian menceritakan apa yang terjadi padanya dan Ka Rival. Lagi-lagi salah faham. Difa dan Ka Rival memang sudah satu tahun menjalin hubungan. Ka Rival adalah kakak tingkat kami di kampus. Dari awal aku tidak setuju dengan hubungan mereka. Entah kenapa aku kurang percaya pada Kak Rival. Karena setahu ku, Kak Rival adalah laki-laki yang banyak di kelilingi wanita-wanita cantik karena memang Kak Rival memiliki daya tarik tersendiri. Tapi aku tidak suka jika Kak Rival dekat dengan Difa, sahabatku. Sahabat baikku.
Difa menceritakan secara detail. Tak satupun percakapannya dengan Kak Rival yang ia lewat. Setiap balasan pesan dari Kak Rival, ia perlihatkan padaku. Tentu dengan isak yang kian mengeras. Mataku sebenarnya sudah hampir tertutup lagi, tapi aku tak tega membiarkan sahabatku ini bercerita dan menangis sendiri.
Yang terjadi pada mereka ternyata berawal dari status Difa di akun facebooknya. Difa menulis ‘Ketemu, kalau ada maunya aja’. Dan ternyata Kak Rival tersinggng dengan tulisan itu. Karena Difa menulis status itu setelah bertemu dengan Kak Rival yang ternyata meminjam uang padanya.
Ra, dia belum pernah ngajak ketemu. Selama setahun pacaran aku gak pernah pergi kemana pun. Kalau Dia minta ketemu pasti mau pinjem uang, itu pun setelah aku kasih uang nya dia langsung pulang. Gak pernah mau aku ajak ngobrol dulu“ Difa memperjelas ceritanya.
Menurut cerita Difa.  Stelah membaca status itu, Kak Rival marah-marah. Dia meminta Difa untuk menghitung hutangnya dan ia akan ganti semuanya. Kak Rival menuduh Difa perempuan yang perhitungan. Tidak ikhlas.
Padahal aku gak pernah ada masalah sama uang nya Ra. Karena itu memang uang tabunganku. Aku Cuma mau dia meluangkan waktu untuk sekedar ngobrol Ra. Tapi setiap aku minta, dia selalu bilang kalau aku tak mengerti dunianya. Kalau aku tak bisa menghargai prinsipnya
Kak Rival memang pengurus himpunan fakultas di bidang keagamaan. Menurut Difa, ia selalu berdalih kalau ia tak mau mendekati maksiat. Karena itu lah ia selalu menolak jika di ajak bertemu oleh Difa.
Tapi aku tahu kehidupannya di kampus Ra. Ia sama saja dengan laki-laki lain. Dengan perempuan pun ia tidak bisa dikatakan menjaga jarak. Karena aku sering melihat ia berdekatan dengan mereka. Apa seperti itu yang di namakan tidak ingin mendekati maksiat Ra?” Difa semakin emosi.
Aku bingung harus berkata apa.
”Aku juga bukan ingin bermaksiat Ra, aku juga masih punya iman. Tapi kenapa seolah-olah aku yang mengajaknya bermaksiat? Padahal dulu dia yang mengajakku berpacaran. Dia yang meruntuhkan prinsipku Ra”
Difa adalah sahabatku sejak SMA. Dan ia pun dulu bergerak di bidang keagamaan di ekskul sekolah. Sejak SMA, Difa emang memiliki prinsip tidak ingin berpacaran.
“Kalau memang tidak mau bermaksiat, kenapa Kak Rival tidak putuskan aku saja Ra..“ kini tangis Difa pecah di pelukanku.
“Kenapa kamu harus menunggu dia yang mengakhiri nya Ra? Kamu bisa menentukan langkahmu sendiri“ kataku sekenanya.
Ku lihat Difa menyapukan jari telunjuknya kekelopak mata. Menghapus air mata.
“Sebenarnya, aku sudah berniat serius dengan Kak Rival Ra. Kamu tahu kan Ra, selama ini kau  belum pernah menjalin hubungan dengan siapapun dan ini adalah pertama kalinya. Dan aku tak mau ada yang kedua atau ketiga kali Ra, aku ingnin Kak Rival menjadi yang pertama dan terakhir bagiku“. Mata Difa kembali berkaca-kaca.
Kata-kata Difa semakin membuatku bingung.
“Fa, mungkin ini teguran buat kamu. Kak Rival berhasil meruntuhkan prinsip kamu dan dia minta kamu menghormati prinsipnya. Dan kamu tahu sendiri prinsip seperti apa yang ia bangun“
Difa mendengarkan penjelasanku. Meski sepertinya airmatanya semakin menderas, namun tak terlihat tertutup bantal yang ia peluk sejak tadi.
”Kamu yang harus ambil sikap. Akhiri saja. Bangun kembali prinsip kamu.  Allah memang menginginkan kamu tak mencoba untuk kedua atau ketiga kalinya. Jika memang kelak kamu di pertemukan kembali dengan Kak Rival, maka jelas Allah mengabulkan permintaanmu menjadikan Kak Rival yang pertama dan terakhir“ Aku mencoba mencari kata-kata terbaik.
Difa tak berkata apa-apa lagi. Kalau boleh ku tebak, sepertinya kata-kata ku tercerna dengan baik oleh hati dan logikanya. Ia hanya tersenyum. Kemudian tenggelam dalam buaian lelah. Tertidur.  

Komentar