Layu Sebelum Waktunya |
24 Juli 2016
16:30
Pagi itu sebuah mobil sedan hitam terparkir di halaman
rumah berpagar bambu. Rumah mungil nan asri. Rumah yang dipenuhi aneka tanaman
hias dan tanaman obat. Anjani yang saat itu tengah menyiram tanman-tanamannya,
nampak sumringah melihat kedatangan mobil sedan hitam.
“Ibu.. Ibu.. Ara datang
Bu“ teriak Anjani setelah tahu siapa orang dalam mobil hitam itu.
Ibu buru-buru membersihkan dirinya dan meninggalkan pekerjaannya di dapur.
Segera keluar menemui seseorang yang di sebut Ara oleh Anjani.
“Hei Ara. Masih ingat denganku? Aku Anjani“ Sapa ramah Anjani sambil mengulurkan tangan.
Ara
tak menjawab. Ia hanya memandangi tangan Anjani yang nampak sedikit kotor,
sisa-sisa tanah melekat dilengannya. Anjani tidak sempat membersihkan tangan,
karena terlalu bersemangat bertemu Ara. Anjani menarik tangannya,
menggosok-gosokkan tangan kotor itu ke bajunya. Berharap Ara mau bersalaman
dengannya. Tapi itu tak mengubah apapun. Ara tetap tak bergeming ketika Anjani
mengulurkan tangan untuk kedua kalinya.
Ara adalah saudara Anjani. Ibu Ara adalah adik dari almarhum
Ayahnya. Sudah hampir empat tahun mereka tak berjumpa. Sejak Ayah Anjani
meninggal. Ara dan keluarganya tak pernah datang lagi ke kampung itu.
Beberapa hari Ara tinggal di rumah Anjani, menunggu rumah
sebelah benar-benar kosong di tinggal pemiliknya yang berpindah ke Jakarta.
Mencari peruntungan. Rumah itulah yang kemudian menjadi tempat tinggal Ara dan
keluarganya. Ara tak suka tinggal di kampung, beberapa hari ia menangis,
merajuk pada ibunya meminta kembali ke Jakarta, tempat dulu ia tinggal.
“Ini Ara, sepupuku dari
Jakarta” Anjani memperkenalkan Ara pada teman-temannya di sekolah. Ara tak
peduli, baginya Anjani dan teman-temannya hanya anak kampung. Tak layak menjadi
kawannya.
“Panggil Aku Tiara!” kata
Ara tiba-tiba dengan ketus.
“Wah namanya bagus yah”
puji salah seorang teman Anjani.
Dalam hati, Ara memuji dan membangga-banggakan dirinya.
Teman-teman Anjani begitu kagum pada gadis kota itu. Cantik, rambutnya
kecokelatan dan kulitnya putih seperti artis. Dalam beberapa hari Ara menjadi
perbincangan di kampung dan di sekolah. Mereka memuji-muji kecantikan Ara.
Menjadikan Ara kembang desa yang elu-elukan.
Dalam perjalanan ke sekolah, selalu terdengar orang-orang
yang memanggil nama Ara. Baik dari para pemuda maupun dari anak-anak kecil yang
iseng. Tidak sedikit pula teman sekolah yang mencoba mendekatinya. Baik secara
langsung atau dengan meminta bantuan Anjani.
Ara mulai menikmati ketenarannya. Ia tak mau lagi
berjalan dengan Anjani ke sekolah. Sejak itu laki-laki yang berbeda tiap
harinya datang silih berganti mengantar dan menjemputnya. Meski ia selalu
mengaku bahwa Anjanilah yang meninggalkankannya di sekolah jika ibunya bertanya
kenapa ia tak bersama Anjani.
Disekolah
Ara semakin bertingkah. Menebar pesona ke setiap mata yang memandang. Laki-laki yang duduk di ruang
organisasi itu tampak menatap lebih dalam pada sosok Ara. Zaenul namanya. Hingga
muncul ide konyol yang ia tawarkan kepada kawan-kawannya yang lain. Yang tengah
berkumpul di ruangan itu. Di hari itu pula Ara di datangi oleh beberapa ketua
organisasi ekskul. Zaenul si ketua OSIS meminta Ara untuk berpartisipasi dalam
acara pensi bulan depan. Johan si ketua paskibra, mengajak Ara untuk ikut
selesksi paskibraka tingkat kota. Katanya, postur tubuh Ara cocok untuk menjadi
pasukan pengibar bendera. Sementara Apih, ketua tim basket sekolah langsung
menawarkan untuk mengantarnya pulang. Padahal saat itu Apih sudah memiliki hubungan
dengan Nurfah. Siswi kelas XI IPA 2. Sedangkan Dhani, ia bukan siapa-siapa. Ia
tak memiliki jabatan seperti ketiga temannya. Ia hanya menjadi anggota dari
ekskul jurnalistik. Ia tak melakukan apa-apa, karena sejak awal ia tak setuju dengan ide gila Zaenul si ketua
OSIS.
Empat
orang laki-laki itu berebut mencari perhatian Ara, lagi-lagi kecuali Dhani. Ara
semakin besar kepala. Ia berbangga hati menjadi perhatian kaum adam di
sekolahnya. Teman-temannya yang lain mulai tak menyukai Ara, entah karena iri
atau karena sikap Ara yang pilih-pilih dalam berteman. Hingga suatu hari Ara
mengetahui alasan keempat laki-laki yang berebut perhatiannya akhir-akhir ini. Dhani
yang memberi tahu. Dhani tak tega jika harus melihat perempuan di perlalkukan
seperti itu.
Zaenul,
Johan, Apih, dan Dhani sore itu belum meninggalkan sekolah. Menunggu kedatangan
Ara di lapangan basket.
“Ra,
kita hanya taruhan untuk mendapatkan kamu‘“ Zaenul memulai pembicaraan.
Ara, tak marah. Ia malah semakin
bangga. Menganggap keempat orang ini sampai harus bertaruh untuk
mendapatkannya.
“Sekarang
kamu tentuin Ra, siapa yang kamu pilih di antara kita berempat. Supaya kita
tahu, siapa yang menang dalam taruhan ini“ Kata Johan ikut menambahkan.
Mendengar perkataan Johan, Dhani menatap Johan dengan
kening yang berkerut. Tak mengerti apa maksudnya. Ia kira, taruhan ini akan di
batalkan, dan ia keberatan jika harus terseret dalam pemilihan konyol itu. Baru
ia hendak mengatakan bahwa ia tidak termasuk dalam taruhan itu. Tiba-tiba Ara
menarik tangan Dhani. Menandakan bahwa Dhani lah yang ia pilih. Dhani tak bisa
mengatakan apa-apa. Teman-teman yang lain terlanjur memberinya ucapan selamat,
dan Ara menggelayut manja di lengannya.
Kini setiap hari Dhani yang menagantar jemput Ara. Meski ia tak suka pada Ara. Tapi ia tak tega untuk mengatakan tidak
ketika Ara memilihnya. Ara memilih Dhani, semata-mata karena ia ingin
menunjukkan pada Anjani, bahwa kali ini ia mampu mendapatkan apa yang selama
ini Anjani harapkan. Ara tahu, bahwa Anjani menyukai Dhani. Catatan di buku
harian Anjani membuat Ara melakukan itu padanya. Ia menemukan nama Dhani dalam buku itu dengan
berbagai kisahnya di organisasi jurnalistik sekolah. Anjani yang juga menjadi anggota di organisasi itu.
Satu bulan lebih Ara dan Dhani berhubungan. Cukup bagi
Ara. Melihat Anjani menangis, itu membuat Ara tersenyum bangga. Bahwa ia akhirnya
bisa membuat Anjani merasakan apa yang ia rasakan selama ini. Anjani selalu
mendapatkan semuanya. Dan ia tak suka jika Mama nya selalu membela Anjani dari
pada anaknya sendri. Ara memutuskan hubungan begitu saja. Hal itu lantas
membuat Dhani senang. Ia terbebas dari ikatan yang tak semestinya. Ia juga tak
tahan dengan sikap Anjani yang menjaga jarak dengannya sejak sebulan lalu.
Padahal, saat itu mereka berada dalam satu tugas untuk meliput acara pensi
sekolah. Dan hal itu membuat perasaan Dhani sangat tidak nyaman.
Setelah putus dengan Dhani, Ara semakin tak karuan.
Beberapa kali membolos sekolah, di jemput mobil mewah dan menjauh dari gedung
sekolah. Mendatangi tempat belanja dan tak keberatan di ajak ke tempat hiburan
malam. Teman-teman sekelasnya bergosip. Ada salah satu diantara mereka yang
memergoki Ara berdua-duaan dengan seorang pria tua di sebuah penginapan.
Anjani sebenarnya sudah tahu, hanya saja
ia tak berani mengatakan apapun, terutama pada Mama Ara.
Waktu berlalu dengan cepat, meninggalkan semua kisah yang
disaksikan dinding sekolah. Anjani mendapat kesempatan menempuh pendidikan ilmu
komunikasi di Yogyakarta. Meninggalkan Dhani yang memilih mencoba
peruntungannya di Jakarta. Sementara Ara,
ia kini dirumah sakit. Dalam proses persalinan anak pertamanya. Ara menikah
seminggu setelah pengumuman kelulusan sekolah. Dengan keadaan perut yang sudah
membesar. Membuat Mama nya hampir gila ketika harus menerima kenyataan anak
yang selama ini ia besarkan, ternyata harus menerima takdir demikian. Beberapa
bulan kemudian Ara menjanda. Ia di tinggalkan suaminya yang lebih memilih
keluarga dari istri pertamanya. Membuatnya semakin tak bernilai.
Ara
hanya dapat menangis. Meratapi nasib yang di gariskan Tuhan padanya. Gurat
penyesalan tak dapat ia tutupi kala ia memandang bayi mungil di pangkuannya.
Mengecupnya dengan penuh kasih, berbisik semoga Tuhan memberikan limpahan
kasihNya kepada ia dan anak perempuannya. Mengharap, anak itu tumbuh menjadi
anak yang membanggakakn. Tak seperti dirinya. Ara. Kembang desa yang layu
sebelum waktunya.
Komentar
Posting Komentar