Rindu





Bandung, 23 Juni 2015
10:23 WIB
Imas Rismawati

Rindu. Satu kata itu berhasil menyusup kedalam ruang rasa dan menyeruak mengakibatkan rasa yang lain seolah mati. Apa makna dibalik satu kata ini hingga penulis kondang idolaku saja menjadikannya judul buku dengan tebal yang mencapai 544 halaman. Sedahsyat apakah kekuatannya, hingga mereka mengatakan bahwa mereka tak mampu memendamnya. Rasa macam apa sebenarnya?
Siapakah pemilik rindu ini? Mengapa ketika ia datang menghampiri, dada serasa sesak, tubuh seolah menghentikan pertukaran udara di alveoli hingga membuat semua organ lemas kekurangan oksigen.
Yang aku tahu,  kata ini sering di ucapkan atau mungkin dituliskan oleh seseorang, dan ditunjukkan kepada orang yang berada jauh darinya. Berada dalam pijakan bumi yang berbeda.
Apa aku merasakannya? Entahlah. Aku masih belum yakin dengan definisi kata itu.
Yang  jelas, ketika aku menyaksikan seorang Ibu dan anak dalam angkutan kota disuatu hari, mataku memerah. Terlihat olehku, seorang anak yang tengah antusias menunjukkan hasil raport hasil belajarnya selama satu semester yang melelahkan. Samar-samar kudengar, ia menceritakan bahwa peringkatnya naik dan kemudian pembicaraan melebar, ia bercerita seputar teman-temannya disekolah. Sang Ibu hanya tersenyum bangga sembari terus menatap anak gadisnya yang riang bercerita. Mataku bukan hanya memerah ternyata, lebih dari itu. Aku menangis. Hingga aku harus menelungkupkan buku yang tengah aku pegang ke wajahku. Hanya untuk menyembunyikan bulir bening yang tak disangka akan menderas. Sesak. Kerongkonganku tercekat. Aku seperti melihat sekelebat kisah dimasa lalu. Gadis berkepang dua yang rajin melaporka nilai-nilai yang ia dapat kepada Bundanya. Bukan hanya nilai raport, tapi nilai sehari-hari yang ia dapat. Yang biasanya dibubuhi dengan paraf Bapak atau Ibu Gurunya disekolah. Yang juga tak jarang ia harus berbohong agar tidak kena marah Bundanya karena hari itu ia mendapat nilai dengan tinta merah. Riangnya gadis berkepang itu bercerita, persis seperti gadis disampingku ini.
Lantas kemana gadis berkepang dan bundanya itu? Mereka tak bersama lagi. Jarak terpaksa harus memisahkannya. Ya, memisahkan aku dan Bunda.
Seperti itukah yang dinamakan Rindu?
Atau,. Rindu itu ketika terdiam menyaksikan seorang anak yang berbonceng ria dengan Ayahnya?.  Sang Ayah yang bersedia mengantar anaknya keberbagai tempat yang ia tuju. Sekolah, rumah teman, bahkan ke pasar meski hanya untuk membeli  keperluan si anak. Ayah rela dan ikhlas mengantarnya dengan sepeda motor tua itu.
Seperti itukah Rindu? Yang karena menyaksikan kejadian itu aku sampai harus memaksa mataku untuk terus melihat ke atas. Menarik bulir bening yang menggelayut di kelopak mata.
Atau mungkin, rindu itu ketika aku menatap iri mereka-mereka yang sedang asyik bercanda di depan gerbang sekolah? Mengenakan seragam yang sama. Kemeja putih dengan bawahan berwarna abu-abu? Yang karena menyaksikan pemandangan itu aku harus tersenyum getir sembari meyakinkan dalam hati bahwa ‘kisahku lebih indah dari mereka’.
Begitukah Rindu?
Serasa ingin menjumpai sosok yang tergambar dalam pikiran?
Serasa ingin merasakan suasana yang pernah terjadi dimasa lalu?
Atau lebih tepatnya serasa ingin memutar waktu dan memintanya mengembalikan kita pada masa yang indah, berkumpul dengan orang-orang yang kita sayangi? Entah!. Yang jelas Rindu selalu berhasil menyeretku pada perasaan yang tak pernah aku mengerti.

Komentar