17 November 2016
00 : 15
Sepotong surat kawan
yang tadi ku baca, mengingatkanku padamu. Sebenarnya bukan hanya malam ini, malam kemarin, dan
malam-malam yang telah lalu pun sama. Setiap bumi menggelap
aku mengingatmu Bu. Dan malam ini,
aku ingin menulis sesuatu tentangmu. Karena hanya dengan seperti inilah aku
bisa sedikit, sedikit saja mengobati rindu padamu di pertengahan waktu bumi
menggelap.
Ibu apa kabar?. Berapa hari kita tak berjumpa? Biar aku yang menghitung Bu.
118 hari ternyata Bu. Lamakah waktu itu bagi Ibu?
Bagiku, bukan lagi lama Bu. Waktu sebanyak itu, lebih dari cukup untuk
menumpuk kepingan rindu hingga tak terlihat lagi ujungnya.
Ibu..
Ibu sedang apa?
Ibu sudah tidur? Atau malah sudah terbangun untuk mengingat dan menitipkan
kembali anak-anakmu kepada pemilik semesta?. Aku tahu Ibu masih melakukannya. Dan
akan selalu melakukaknnya.
Ibu, disini dingin Bu. Bukan karena tak ada selimut. Bukan Bu. Tapi tak ada
sentuhan jari-jarimu. Jari-jari yang tak lagi lembut. Perlahan mengasar karena aktivitasmu
yang tak dapat dikatakan mudah. Mencari kayu bakar di hutan, menyalakan api di
tungku tua, belum lagi harus memberikan anak-anak kecil itu ilmu dengan kapur
tulis yang berdebu. Tapi tanganmu tetap hangat. Tetap menjadi tempat ternyaman
untuk anak-anakmu. Untukku Bu.
Ibu, lihatlah pohon tinggi menjulang di tepi jalan itu. Ibu ingin aku
seperti pohon itu Bu? Terus tumbuh meski semakin menjauh dari tanah. Aku sudah
mulai tumbuh Bu, perlahan menjauhi tanah. Jauh dari Ibu.
Ibu, angin diatas rasanya terlalu kencang. Terlalu dekat dengan hujan dan
petir. Hujan ternyata tak lagi indah Bu dari atas sini. Berbeda dengan dulu saat
masih dekat denganmu. Ibu tahu? Terkadang aku ingin tumbang saja, aku ingin
jatuh saja. Agar bisa kembali pada tanah. Kembali padamu. Tertidur di
pangkuanmu. Kembali mendengarkan denting hujan di ruang sederhana bersama Ayah
dan adik-adik. Tapi aku tahu, jika aku jatuh aku akan menyakitimu. Membuat semua
yang kau lakukan selama ini tak berarti. Membuat doa-doamu di langit seakan mati.
Ibu maaf. Aku belum bisa tumbuh tegak. Kadang begitu tak yakin untuk
menentang langit. Sudah gusar lebih dulu ketika hendak di sapa angin. Hingga akhirnya
aku tak tumbuh untuk beberapa saat.
Ibu maaf. Langkahku masih sering
terhenti kemudian seenaknya menyalahkan kondisi. Kadang lebih
mengagungkan air hujan tanpa mengingat air ketuban. Terkalahkan oleh air lendir di hidung, tanpa mengingat
air keringat dari balik wajahmu yang berkerudung. Aku abai Bu. Aku terlalu
sibuk dengan kegelisahanku. Sibuk dengan diriku yang selalu merasa sulit. Lupa bagaimana
Ibu berjuang disana. Berjuang agar aku tetap tumbuh. Dengan doa yang selalu
meminta Allah memberiku kemudahan.
Aku tahu Ibu tak akan membaca
tulisan ini. Biar saja Bu. Aku bukan ingin Ibu membacanya. Biar nanti aku
sampaikan sendiri pada Ibu. Permohonan terbesarku, jangan pernah berhenti
menyebut namaku dalam sujudmu kala bumi menggelap Bu. Karena mungkin, hanya itu
yang membuat Allah berkenan menumbuhkan aku.
Selamat tidur Bu, beristirahatlah.
Aku tahu sebelum bumi kembali benderang engkau harus sudah terjaga kembali. Menjadi
superhero lagi untuk keluarga. Sehat selalu Ibu.
Komentar
Posting Komentar