Menggodam “Pemetik Bunga”

Kali Ini aku mem post bukan hasil karyaku. Ijadul. Angka pertama tahunnya masih 1 bukan 2. Dan aku memili majalah Tempo tahun 1990 edisi bulan September. Dan berita utamanya berjudul Menggodam “Pemetik Bunga”. Aku masih belum mengerti sebenarnya, kenapa harus majalah jadul apa tidak lebih baik kita mengetahui berita-berita yang sedang menjadi perbincangan saat ini?. Aku tahu pimred ku tidak sembarangan menyuruh kami melakukan hal ini., pasti ada tujuan lain di baliknya. Tapi sebenarnya, aku jadi lebih banyak mengetahui peristiwa-peristiwa yang terjadi bahkan sebelum aku lahir. Banyak gambar-gambar menarik, benda teknologi, foto-foto model yang bergaya sesuai jamannya, bangunan di masa lampau dan lainnya. Baiklah, tak perlu banyak prolog sepertinya, ini lah hasil resume ku yang tidak terlalu baik.
ni adalah salah satu tugas dari Pers Mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi. Membaca dan kemudian meresume berita berita di dalam nya. Yang uniknya, yang pimred berikan kepada kami adalah setumpuk majalah Tempo




Menggodam “Pemetik Bunga”
Tempo, 15 September 1990


Intensitas berita mengenai perkosaan  akhir-akhir ini memang terdengar semakin ramai. Hal ini seakan mengancam  wanita mana saja. Ketakutan kaum wanita itu semakin memuncak setelah polisi mengumumkan bahwa setiap hari terjadi lima kasus perkosaaan di Indonesia.
            Efek dari pemerkosaan adalah trauma bertahun-tahun bahkan seumur hidup. Oleh karena itu, Nyonya K. Soebekti juru bicara Persatuan Wredatama Indonesia mengusulkan agar pemerkosa pemerkosa itu di hukum mati atau seumur hidup. Usul organisasi itu di dukung  berbagai organisasi wanita lainnya yang  tergabung dalam Kongres Wanita Indonesia (Kowani).
            Ketua Persatuan Wredatama Indonesia, Nyonya Endang Sulbi Suska mengaku bahwa usul mereka itu bukan berdasarkan penelitian namun hanya berdasarkan meningkatnya kasus pemerkosaan karena pada saat itu berdasarkan catatan kepolisian, dalam sehari terjadi sekitar lima perkosaan di Indonesia. Dan hukuman yang di dapat pelaku tak setimpal dan terkadang tidak sesuai dengan pasal 285 KUHP. Karena itu Kowani mengusulkan agar KUHP tersebut segera di ubah.
            Sekjen organisasi hakim (Ihaki), Amarullah Salim, setuju-setuju saja dengan usul Kowani itu.  Tapi katanya, jangan semata mata mengaitkan tingginya angka kasus perkosaan dengan keputusan hakim. Kecuali itu, ujar Amarullah lagi, di persidangan kenyataannya sulit seklai membuktika kasus perkosaan murni. Bisa saja terbukti mau sama mau, atau pelaku dan korban sudah saling kenal“.
            Lebih keras lagi tanggapan guru besar hukum pidana Universitas Airlangga, Prof. J.E Sahetapy. Menurut Sahetapy, usulan hukuman mati agaknya Cuma bersifat dendam semata. Karena ancaman hukuman tinggi belum tentu bisa mneghapuskan atau meredam tingkat kejahatan perkosaan.
            Agaknya, harapan organisasi-organisasi di bawah Kowani masih jauh dari kenyataan.

Komentar