Persahabatan Hujan dan Matematika



Persahabatan Hujan dan Matematika



Hujan membungkus langit sore ini. Tetes lembutnya mengalun berirama mengantar senja di ufuk barat. Kehidupan ternyata tak terhenti hanya karena bulir bening kiriman langit. Hiruk pikuk setiap sudut kota berjalan normal tak terganggu. Aku menyaksikannya dari balik kaca jendela bus kota. Payung berwarna warni hilir mudik berusaha menahan air hujan agar tak membaasahi pemiliknya. Para ibu yang menuntun anaknya dalam satu payung, anak remaja yang tetap asyik bercerita tak terganggu hujan, kakek tua dengan gerobak sampahnya yang terpaksa meneduh di emperan toko. Mencoba melindungi anak kecil dalam gerobaknya dengan kantong plastik berukuran besar.
“A ini karcisnya” Seorang kondektur memberikan selembar kertas dengan nominal yang harus aku bayar.
Aku menatap angka-angka dalam karcis itu. Tersenyum. Mengingat hujan dan Langit.
***
Sejak kecil aku sudah akrab dengan bus kota. Menikmati suasana terminal yang kian tak menyenangkan ketika hujan. Saat itu sepulang sekolah, langit memang sedang murung dan beberapa saat kemuadian ia menangis. Membuat sebagian manusia kerepotan saat itu. Aku tertahan di warung pinggir terminal. Menunggu langit berbaik hati memberiku waktu untuk pulang. Aku duduk di bangku panjang  yang di sediakan pemilik warung untuk pelanggannya.
Langit kali ini sepertinya sedang marah, kilatan cahaya dan suara petir silih berganti menemani hujan. Ku perhatikan langit yang sepertinya semakin mengamuk. Namun sayup-sayup ku dengar suara tangisan. Aku baru sadar ternyata aku tak sendiri di warung itu. Ada seorang gadis bersamaku. Meringkuk ketakutan di tanah. Tidak duduk di bangku. Saat itu aku bingung, apa yang harus ku perbuat. Aku tak mengenal perempuan itu. Aku juga tak tahu apa yang sedang dilakukannya. Ia hanya mendekap lututnya dan membenamkan wajahnya dalam dalam.
“Kamu kenapa?“ Tanyaku memberanikan diri.
Wajahnya terangkat. Menatapku sekilas lalu kembali membenamkan wajah. Sekilas ku tangkap wajahnya, aku tak asing. Gadis itu yang biasanya menghibur penumpang bus kota dengan suaranya yang lantang. Bernyanyi dengan batang kayu dengan beberapa tutup minuman di ujungnya. Menghasilakan suara gemericik, tak begitu merdu. Dan batang kayu itu ku lihat ada di ujung sepatunya saat itu.
Aku kembali menatap langit. Mencoba tak hiraukan gadis di sampingku.
“Aku harus menjemput Adikku di sekolah. Tapi aku takut hujan“ Samar-samar suara itu terdengar.
Aku menoleh. Tak mengerti.
“Dimana sekolah Adikmu?“ Aku coba bertanya lagi.
“Diseberang jalan sana, di belakang ruko“ wajahnya kembali terangkat. Masih dengan ekspresri takut dan cemas.
“Mau aku antar?“ Tanyaku polos saat itu.
“Tapi aku takut hujan“ Gadis itu mengucapkan hal yang sama.
Aku sebenarnya tak mengerti apa maksudnya. Aku yang saat itu berusia 15 tahun merasa perlu membantu gadis itu. Gadis yang sepertinya seusia denganku. Aku pergi ke belakang mencoba meminjam payung pada pemilik warung.
“Ini ada payung, mau aku antar?” Tanyaku sambil menyodorkan payung berwarna merah.
Ragu-ragu ia mengambil payung. Kemudian perlahan bangkit menyeka air di matanya. Ia terlihat ragu ketika hendak memulai langkah pertamanya bersama hujan. Aku mengambil payungnya.berjalan selangkah meninggalkan. Dan seperti yang kuduga, ia berlari mengejarku. Nampak sedikit cemas setelah tubuhnya terkena tetesan hujan.
“Aku Langit. Kamu siapa?” Tanya nya memecah kesenyapan setelah beberapa langkah.
“Panggil saja aku Alam“ Kataku.
Itu awal pertemuanku dengan Langit. Saat hujan. Saat ketakutan itu menjelang. Sejak saat itu aku dan Langit bersahabat. Langit ternyata sosok yang periang, hanya kembali meredup saat hujan turun. Persis seperti langit diatas sana. Mendung ketika hujan turun.
Hampir setiap hari aku menemani Langit mengamen di bus kota. Mengiringi suara Langit dengan petikan gitar seadanya. Langit sering memintaku ikut bernyanyi, katanya agar dapat uangnya lebih banyak. Tapi aku menolak. Suaraku akan memekakan telinga orang-orang di bus kota. Tak jarang juga, aku ikut berkumpul dengan teman-teman Langit di terminal. Sesama pengamen.
“Alaaaam“ Langit senang memanggilku dengan berteriak dari kejauhan sambil melambai-lambaikan tangan. Seperti orang yang tidak berjumpa bertahun tahun.
“Alam lihat, aku bawa apa?“ Langit semangat menunjukkan tas kecil kusam yang di bawanya.
“Apa itu?“ tanyaku sambil menurunkan gitar yang sejak tadi ku sampirkan di pundak.
“Eh, kamu gak sekolah Lam?“ Langit menyelidik dengan tatapan mencurigai
“Sekolah kok. Nanti sore“ Jawabku sekenanya.
Langit hanya mengangguk percaya. “Lam lam lihat, ini buku PR adikku“ katanya sambil mengacung-acungkannya di depan wajahku.
“Kenapa kamu bawa-bawa? Untuk apa?“ Aku mengambil buku yang Langit pegang.
Belum sempat ku buka, Langit merebutnya. Membuka halamannya dengan kasar.
“Nih, Adikku ada PR matematika, dan meminta aku mengerjakannya. Kamu tahu sendiri aku SD saja tidak lulus. Bagaiman bisa mengerjakan soal-soal ini. Nah, sengaja aku bawa kesini. Aku ingin minta bantuanmu Lam“ Mata Langit berbinar, berharap kepadaku.
Buku-buku itu penuh dengan angka, dan apa yang Langit katakan tadi? Matematika?
Saat itu aku tak dapat berpikir apapun. Kalut. Ku selempangkan lagi gitar yang tadi kusimpan, hanya mengucapkan “Maaf Langit, aku harus pulang. Mama sudah menunggu“ Kemudian berlalu.
Ku dengar Langit berteriak-teriak memanggilku. Tapi sebisa mungkin aku menulikan telinga. Meninggalkan Langit yang kebingungan.
Setelah hari itu, satu minggu aku tak pergi ke terminal. Aku memilih pergi ke tempat les di antar Mang Ujang. Tukang kebun di rumah. Tapi ternyata aku merindukan bus kota. Merindukan teman-teman disana. Merindukan Langit. Hanya dengannya aku benar-benar merasa memiliki sahabat. Setelah selama ini hanya berteman dengan gitar.
Aku kembali ke terminal, kembali menumpangi bus kota. Langit yang kebetulan sedang mengamen di bus kota yang ku tumpangi, tersenyum lebar. Seolah ingin segera menyapaku. Tapi sebelum itu terjadi. Aku berteriak mengehntikan bus kota. Turun di pertengahan jalan.
Sore harinya, aku kembali bertemu dengan Langit. Dia berseru-seru memanggilku. Melambai-lambaikan tangnnya seperti biasa. Teman-teman pengamen lainnya pun ikut berlari ke arahku, aku tahu mereka rindu kepadaku. Tapi aku belum bisa menemui mereka, aku belum bisa menemui Langit. Aku bergegas memanggil ojek untuk mengantarku pulang. Ku lihat dari kaca spion, Langit dan anak-anak lain berjalan lesu. Mungkin saat itu mereka kecewa padaku.
Hingga suatu sore, hujan kembali menyapa kota. Kembali membuatku tertahan di terminal. Membuatku tiba-tiba khawatir pada Langit. Hujan ini sama seperti hujan saat dulu aku menemukannya meringkuk di pojokkan warung. Kilatan cahaya dan petir kembali menemani tetes bening.
Dari kejauhan, kulihat seseorang yang menekuk lutut di depan kamar mandi umum. Persis Langit. Segera ku hampiri. Dan benar, Langit lagi-lagi cemas dan ketakutan.
“Langit sedang apa kamu disini?“ Langit mengangkat wajahnya.
“Bintang sakit. Aku membeli obat, tapi hujan turun“ Kali ini Langit sesenggukan menahan tangis.
Aku menelan ludah. Berpikir bagaimana mungkin aku tega mengabaikan Langit. Membiarkannya sendiri. Bintang adalah adik Langit. Mereka hanya tinggal berdua. Ayah dan Ibunya telah lama meninggal tertimbun longsor di desanya dulu. Karena itulah ia trauma pada hujan. Atau mungkin orang-orang menyebutnya ombrophobia. Karena musibah itu terjadi saat hujan lebat disertai petir dan angin yang kencang. Langit dan Adiknya terselamatkan. Lalu mencoba peruntungan di kota bersama Kakeknya yang baru setahun lalu juga meninggal terseret kereta saat pergi memulung.
Aku ikut memeluk lutut di samping Langit. Meminta maaf atas perilaku saat itu yang membuatnya bingung atau mungkin terluka.
“Tidak apa-apa. Aku mengerti. Kamu pasti malu berteman denganku kan. Dengan teman-teman yang lain. Kamu kan anak orang kaya“ Kata Langit tak menatap wajahku.
Saat itu aku bingung. Apa yang harus aku katakan. Aku sama sekali tak bermaksud seperti itu. Aku hanya..
“Aku menderita Mathematics anxiety atau mathphobia, Langit“ jawabku lirih. Langit mengangkat kepala, sorot matanya meminta penjelasan dari ucapanku.
“Seperti kamu yang takut pada hujan. Aku juga punya ketakutan pada matematika. Jika orang lain sejak kecil sudah dapat berhitung 1-10, aku baru bisa ketika duduk kelas dua. Angka-angka itu terlihat rumit bagiku. Aku sesalu cemas, khawatir bahkan emosi jika melihat angka-angka. Dari kecil aku selalu di tertawakan di kelas, karena tidak bisa mengerjakan matematika yangmereka katakan mudah. Guru-guru di sekolah juga tak jarang membentakku karena mungkin aku terlalu bodoh. Aku sering bolos sekolah saat ada ulangan matematika. Memilih pergi dengan gitarku. Mencari sudut kota yang lain, seperti terminal ini. Aku juga sebenarnya tidak sekolah sekarang, hanya les gitar setiap sore“.
“Karena itu kamu pergi saat ku tunjukkan PR matematika adikku? Dan kamu selalu menghindar saat anak-anak lain memintamu menghitungkan hasil mengamen mereka?“ Langit mulai terlihat tenang. Dan aku hanya mengangguk pelan.
“Maafkan aku. Aku tidak tahu“ Suaranya lirih.
“Bukan salahmu Langit. Aku yang memang seharusnya mengakhiri rasa takut ini. Banyak hal ternyata yang tak bisa aku lakukan tanpa matematika. Aku ingin belajar dengan Bintang, aku juga ingin bisa mengajari teman-teman disini berhitung. Begitu pun denganmu Langit. Kamu juga harus bisa melawan rasa takutmu“
Langit kembali menekuk lutut. Seperti menolak kalimatku yang terakhir. Aku mengerti.
“Kamu hanya hidup berdua dengan adikmu, Adikmu butuh perlindungan. Dari siapa lagi kalau bukan darimu. Tapi lihatlah, bagaimana kamu dapat melindungi adikmu kalau kamu lebih sering meringkuk memeluk lutut saat hujan. Kamu akan membiarkan adikmu sendiri dalam hujan Langit?“ Aku mencoba membujuk Langit. Aku mengerti, itu tak semudah yang aku ucapkan. Karena nyatanya, aku sendiri sulit berdamai dengan matematika.
Lengang. Langit berusaha mencerna perkataanku. Begitupun denganku yang mencoba mencerna perkataanku sendiri. Langit perlahan bangkit.
“Kamu benar Alam, aku harus menjaga adikku. Aku tidak boleh takut pada hujan“ Perlahan tersenyum menghapus keraguan di hatinya.
Sejak saat itu kami mencoba memangkas habis semua perasaan takut. Pada hujan. Pada matematika. Menjalani kehidupan senormal mungkin dengan hujan dan matematika.
“Maukah kamu bernyanyi untukku jika aku berhasil menaklukkan hujan?“ Tanyanya suatu saat. Aku mengerutkan dahi. Berpikir kenapa Langit ingin sekali mendengar aku bernyanyi. Akhirnya ku jawab hanya dengan senyum dan anggukkan kecil.
***
            Sekarang aku tak lagi cemas melihat angka-angka. Malah ku pandang lekat nominal di karcis yang tadi di berikn kondektur. Langit juga sudah sering hujan-hujanan. Tersenyum-senyum saat gerimis mulai turun. Hanya mungkin, ia masih sedikit cemas jika ada kilat dan petir.
            Aku dan Langit bersahabat seperti matematika dan hujan.

Komentar