05 Maret 2017
15:21
Februari telah berlalu. Menggenapkan tanggal meski tak sesempurna bulan yang lalu. Genap namun
terasa ganjil bagiku. Berakhir namun entah
mengapa aku berharap Februari belum berakhir.
Aku tak ingin Maret datang, karena engkau belum datang.
Aku tak ingin Februari beranjak sebelum ku lihat tubuhmu berdiri tegak. Di sini,
tempat kita berjumpa selama ini.
Tapi
rupanya Februari tak mau menunggu, tak seperti aku yang terus membatu. Yakin akan hadirmu. Ku seret semua ragu, untuk
pergi tak mengganggu. Ku katakan, aku masih ingin menunggumu. Bertekuk lutut
pada Februari yang nyatanya tak peduli. Memohon sembari mengemis meski akhirnya
ia tetap tak acuh pada mata yang berisak tangis.
Kamu tahu, pada detik akhir kepergian Februari, sebisa
mungkin aku berlari. Menghadang sang waktu yang menjemput ia pergi. Memegang erat
menit dan detik di lengannya, memohon agar
ia berkenan menunggu hadirmu sebentar lagi.
Kamu tahu, Februari sama sekali tak berhenti. Meski hanya
sepersekain detik. Waktu terus saja mengajaknya berlari. Tak ambil pusing pada
ku yang sesak kehabisan oksigen karena lelah mengejar berlari.
Kamu tahu, apa yang dikatakan Februari?. Ia katakan aku
tak tahu diri. Ia bilang aku terlalu naif untuk menyadari. Ia memaki, mengatai
aku bodoh, mengutuki harap ku yang sama sekali tak berarti. Aku menerima. Tak ku
ambil peduli semua makian nya padaku. Tapi ada satu kalimat yang kemudian aku
benci dari Februari, ia katakan, kamu
tak akan kembali.
Aku berteriak tepat di wajahnya dan di hadapan sang
waktu. Ku katakan kamu pasti datang. Sebentar lagi. Sebentar lagi. Februari dan
waktu tertawa.
Sampai akhirnya Februari melenyap. Terbenam dalam gelap. Berganti
dengan sinar kecil yang lagi-lagi di genggam erat oleh sang waktu. Wajahku memerah.
Mataku pun demikian. Ku usir pergi sinar kecil yang ternyata bernama Maret. Ku
maki ia agar kembali saja nanti. Sembari menutup mata yang berair, ku dorong ia
sekuat yang ku mampu. Memohon pada sang waktu untuk sebentar saja menunggu.
Jangan biarkan Maret hadir terlebih dulu.
Sia-sia. Maret kemudian tersenyum dan berkata, ada kisah
lain yang telah lama menantinya, aku tak bisa egois, menyurhnya pergi hanya
untuk menghidupkan kisahku sendiri. Aku tertunduk. Diam seperti kehilangan
lidah. Berusaha menerima realita yang selama ini menjadi prasangka yang selalu tak
ku percaya. Aku tak ingin percaya, bahwa kau tak datang. Tapi itulah
kenyataannya sekarang.
Lelahku tak menghasilkan apapun. Tanyaku tak berjawab. Harapku
tak berbalas. Itu buruk sekali. Menerima bahwa kau mengingkari janji, sungguh
tak dapat ku pahami. Berjuta tanya, kenapa?, bersarang, hilir mudik membuat
macet pikiranku. Membuat rumit keadaan hatiku.
Februari. Janji. Berjumpa. Tiga kata yang ternyata tak
dapat di rangkai dalam satu kalimat. Februari, Ingkar, Luka, rasanya lebih mudah ku rangkai saat ini. Lebih
mudah ku percayai.
Kau tahu, berjalan dengan tubuh terluka itu tidak mudah. Kepercayaan
itu terkoyak. Hancur. Kata percaya, hilang dari kamus terhadapmu. Menunggui mu
sudah tak dapat ku lakukan. Maret sudah tiba. Bukan waktu ku lagi untuk berharap
hadirmu. Habis. Waktu ku sudah habis. Maret adalah tanda untuk kembali pada
hidupku. Dan Maret adalah awal perpisahan rasa antara kau dan aku.
Komentar
Posting Komentar