Sepasang Mata Cokelat



19 Maret 2017
11:09

Benarlah pepatah yang mengatakan, gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga. Ketika sudah bersusah payah untuk menyimpannya rapi, menumpuknya dengan apik dan tak ketinggalan menguncinya di ruang yang mungkin harusnya sudah berdebu, penuh dengan laba-laba yang membuat sarangnya dengan asyik.
Semua file tentang kisah itu, sudah hampir terbuang dari otak. Sebagian sudah tak utuh, berhamburan sekehendak nya. Aku bahkan hampir lupa pernah memiliki kisah itu.
Tapi mata cokelat kemarin, membuat semua nya kacau tak terkendali. Mata yang tak pernah lagi aku temukan sejak tujuh tahun yang lalu. Jangankan sepasang mata, sekata sapa pun tak pernah lagi terdengar. Hanya satu detik mata itu bertemu sapa dengan mataku. Secepat kilat dua pasang mata bertatap.
Tak sengaja ku temukan dalam kerumunan. Tak perlu ku perjelas dengan melihat wajah dan raganya. Sepasang mata cokelat itu cukup membuatku yakin akan hadir nya.
Dan satu detik yang kemudian berlalu begitu saja, seolah tak memberi bekas pada hidupku. Seolah aku baik-baik saja setelah satu detik itu berlalu. Tapi nyatanya tidak, aku sungguh tidak baik-baik saja. Sedetik temu sapa sepasang mata cokelat itu, merusak semua kenangan yang telah rapi tersimpan. Membuka paksa pintu ruang masa lalu meski telah usang dan berdebu. Membuka semua file mengenai sepasang mata cokelat. Mencari dengan teliti setiap bagian yang telah hilang terselip masa yang kemarin datang. Mengintip celah-celah kisah yang kian menyempit.
Seperti kolam yang dengan sengaja di ubek. Menyembul semua ke permukaan, yang tenggelam bahkan yang sudah terkubur sekalipun. Membuat keruh. Seperti itulah aku setelah satu detik yang kemudian berlalu.
Kilatan masa lalu, berkelebat hebat , cepat dan silih berganti. Otak tak berhenti memutar video kisah masa itu dari awal hingga akhir. Dengan cepat memasangkan senyum pada bibir, dan menyepuhkan rona merah pada pipi. Melambungkan ingatan yang tak ingin berhenti, meski kisah itu sebenarnya telah jauh berlalu. Yaa, tepat sekali. Berlalu.
Ku paksa lepas senyum itu, ku hapus tuntas rona merah itu, ku seret ingatanku yang telah terlampau jauh berangan. Ku jatuhkan diri pada kenyataan. Kenyataan bahwa kisah itu hanya masa lalu. Sebagaimana mestinya masa lalu diperlakukan, kenang sekilas untuk kemudian kembali pada realitas.
Sepasang mata cokelat itu pun nampaknya telah menemukan tempat menatap. Berdiam diri untuk sekedar mengagumi kilau mata seseorang. Aku harus paham, aku pun hanya sebatas masa lalu baginya. Hanya berhak berada dalam koridor ‘dulu‘ dalam kehidupannya. Tak perlu berulah untuk mengusik apalagi berbisik ‘aku ingin kembali‘.
Kembali pada hari ini yang kelak akan jadi hari esok, dengan sepasang mata yang tak pernah lelah menatapmu. Lekat memerhatikan setiap gerak kehidupanmu. Cukup sedetik temu sapa dengan sepasang mata cokelat kemarin untuk mengingatkanmu, bahwa kamu pernah memiliki kisah dengan sepasang mata cokelat.

Komentar