WANITA TANGGUH DI USIA SEPUH




Pengalaman Kuliah Kerja Nyata UIN Sunan Gunung Djati Bandung 2017
Di Desa Haurseah, Majalengka

Kuliah Kerja Nyata atau KKN kini telah kembali mengundang para mahasiswa untuk terjun langsung ke masyarakat. Mengaplikasikan serba-serbi ilmu yang telah di pelajari di gedung perkuliahan. Mencoba menyelami kehidupan yang nyata, tanpa nilai tertulis namun pasti memiliki nilai historis.
            Majalengka menjadi salah satu pilihan untuk mengabdi. Maka sampailah kami di tempat ini. Tepatnya di Desa Haurseah Kecamatan Argapura. Dipaksa hidup di tempat yang benar-benar baru plus dengan orang-orang yang baru tentu saja tak mudah. Terlalu banyak yang harus di adaptasikan. Lingkungan dan pola hidup, ego dan perasaan yang harus selalu di kondisikan. Semua adalah proses dari pembelajaran hidup bermasyarakat.
            Berbicara mengenai Desa Haurseah yang menjadi tempat tinggal kami satu bulan ini, ternyata memiliki kearifan lokal yang luar biasa. Beragam tradisi dan adat di pamerkan disini. Aku pribadi lebih tertarik pada wanita-wanita tangguh di desa ini. Wanita-wanita yang berada di usia senja, usia yang tak lagi muda.
            Selayaknya orang-orang yang berada di usia senja terutama untuk wanita, hanya tinggal duduk cantik di rumah, menatap kehidupan dengan sorot kedamaian. Penduduk di desa ini memang dominan bermata pencaharian sebagai petani. Petani berbagai macam sayuran, dari mulai padi, bawang daun, cabai, kol dan lainnya. Sawah dan ladang menjadi tempat mereka menghabisakan waktu. Termasuk para wanita-wanita tangguh yang beberapa telah aku saksikan dan ku simak kisah luar biasanya.
            Mak Tati adalah wanita yang lebih dulu aku temui karena lebih dulu aku temukan di ladang pinggir jalan.  Emak dan suaminya yang sama-sama tidak berusia muda itu bertani di desa ini. Meski sebenarnya rumah mereka berada di desa yang berbeda. Perlu waktu satu sampai dua jam berjalan kaki untuk menuju ladangnya, menuju sumber mata pencaharian. Bersahabat dengan matahari yang tak segan menjemur kulit tua mereka.
            Luas lahan daun bawang Mak Tati tak seberapa, tapi cukup untuk membiayai kehidupan sehari-hari dan untuk membiyai dua anaknya yang pesantren di Banten dan Jawa Tengah. Daun bawang di panen baru dapat di panen setelah tiga bulan. Dengan perawatan tanaman yang harus tekun dan konsisten. Pengairan, pemupukan, pencegahan hama dan berbagai macam cara dilakukan agar hasil panen maksimal. Seolah tak peduli pada usia yang tak lagi muda, Mak Tati tetap melakukan kegiatan serupa setiap harinya.
            Selanjutnya ada Emak Iyoh, yang aku temui di hari berikutnya jug atak kalah tangguh. Seorang diri pergi ke kebun. Melewati jalan desan dan hamparan sawah yang berkelok-kelok. Usia yang lebih lanjut di bandingkan Mak Tati tak menjadikannya hambatan untuk terus beraktivitas. Kebun cabai yang tak terlalu luas, menjadi sumber penghasilan satu-satuny bagi keluarganya. Keadaan Bapak yang sudah tak dapat meninggalkan rumah, membuat Mak Iyoh terpaksa melakukan semua pekerjaannya seorang diri. Mengolah lahan dengan menanam cabai yang terkadang di selingi beberapa tanaman jagung.
            Anak semata wayangnya mengolah lahan yang berbeda, dengan tempat yang berbeda pula. Hanya sesekali membantu ketika musim panen tiba. Panen cabai dilakukan setiap dua minggu sekali, dan Mak Iyoh hanya mampu mendapatkan sekitar 15 kg setiap panennya.
            Kemudian aku menyaksikan wanita tangguh lainnya. Ada Mak Nami, seorang nenek yang juga melakukan semua kegiatannya seorang diri. Hampir setiap hari, Mak Nami mengumpulkan daun cengkeh di kebunnya untuk di jual. Satu kilogram daun cengkeh dihargai 1500 rupiah dan untuk mengumpulkan satu karung yang hanya berkisar 3-4 kilogram itu membutuhkan waktu setengah hari dengan lahan yang lumayan luas. Karung-karung yang terisi daun pun di pikul sendiri dari kebun hingga depan rumah. Benar-benar wanita tangguh di usianya yang sepuh (tua).
            Kemudian di hari berikutnya, aku bertemu dengan seorang pedagang sayur keliling. Seorang wanita yang tak kalah tangguh. Namanya Mak Ayu. Menjadi seorang pedagang sayur adalah pilihannya sejak dulu. Setiap pagi berjalan kaki untuk berbelanja sayuran.  Jarak yang di tempuh dari rumah ke pasar Maja (pasar kecamatan) adalah sekitar 5 km, jarak yang tak biasa bagi wanita berusia hampir 60 tahun. Jalan yang di tempuh pun bukan jalan lurus tak berarus. Melainkan jalan setapak dan hamparan sawah yang menjadi pemandangan setiap pagi selama hampir 20 tahun. Bukan waktu yang sebentar untuk sebuah pekerjaan.
Bukan tak ingin berhenti atau mencari pekerjaan lain yang sesuai dengan kemampuan diri, tapi jika ia tak berjualan maka masyarakat desa Haurseah kesulitan untuk mendapat pasokan sayur untuk di masak. Dan memang bukan hal yang mudah mencari pekerjaan di desa, apalagi jika tidak memiliki lahan untuk di jadikan ladang atau kebun. Maka untuk terus menyambung kehidupan Mak ayu terus berjualan sayur meski harus menempuh jarak yang jauh dan beban yang tak ringan setiap hari.
            Begitulah kehidupan wanita-wanita lanjut usia di desa Haurseah. Penuh dengan semangat ketika menyambut hari. Untaian syukur melalui senyuman tak pernah berpaling dari bibir bibir nan kering. Sorot mata lelah,terlihat jelas di wajah wajah usia senja. Namun binar ketulusan dan keikhlasan senatiasa terpancar. Mereka adalah para wanita tangguh di usia yang sepuh, yang patut dijdikan teladan pembelajaran bagi wanita-wanita yang lain terutama generasi muda. Menyadarkan bahwa hidup memang butuh perjuanagn bukan enak-enakan berpangku tangan. Membeli kebahagiaan dengan hasrat keegoisan.

Komentar