10 September
2017
22:50
Tadi
sore aku pergi ke sebuah pusat perbelanjaan untuk membeli charger handphone
(casan kodok -_-). Entah kenapa handphone ku tidak pulih lagi setelah di
bawa KKN kemarin. Tidak mati, tapi juga tak hidup. Tak mengerti lagi apa
maunya. Berbagai charger telah aku coba, kesana kemari membawa handphone
bernyawa 1% itu, namun sia-sia. Tak ada charger yang membuat
handphoneku pulih kembali.
Jadilah
menjelang maghrib aku pergi, sendiri. Hidupku seperti tak punya teman saja,
kesana kemari sendiri L. Niatnya aku hanya beli charger, tapi kemudian berkeliling
mengitari rak buku tulis. Ambil satu, karena ingat besok sudah mulai kuliah
lagi dan aku tak punya buku tulis. Lalu lihat sticky note, diary, dan
berbagai macam benda lainnya. Tapi aku tak kuasa membeli. Karena ingat, awal bulan masih panjang, dan
aku harus berhemat.
Cepat-cepat aku pergi ke kasir. Agar hasrat belanjaku tak meminta ini dan itu. Beres. Buku dan charger di tangan. Berkantong
pelasik kuning menyala. Ketika hendak pulang, kulihat seorang nenek duduk
dengan box kecil di depannya. Ternyata isi box itu donat berbagai macam rasa.
Aku diam. Bimbang. Aku tak ingin donat, tapi aku ingin berbagi dengan Nenek
itu. Dengan berbagai pemikiran ini dan itu yang berlebihan, untung rugi segala
macam selalu muncul ketika akan aku berniat berbagi. Padahal hanya pada
Nenek-nenek, pikiran itu tetap ada ternyata. Dasar manusia pelit. Pikirku
membatin.
Aku berjongkok membiarkan rok putihku menyapu lantai. “Nek,
satu“ kataku. Aku keluarkan uang selembar bernominal dua ribu rupiah. Si Nenek
membungkus donat bertabur mesis cokelat yang ku tunjuk tadi. ”Berapa Nek?”
tanyaku yang sudah mengepal uang dua ribu. “Empat ribu, Neng”. Aku mengulang
pertanyaan, takut salah dengar. “Empat ribu” kata Si Nenek. Aku yang malu pada
tanganku sendiri, segera menukar uang di tangan dengan selembar lima ribuan di
saku jaket. Dan dua keping 500an aku dapatkan sebagai uang kembalian.
Dari langkah pertama meninggalkan si Nenek dan boxnya,
batinku sudah menggerutu. Heran dengan harga donat yang di jual si
Nenenk. Aku tahu, donat itu biasanya dijual 2000 rupiah. Bukan karena di kampus
banyak yang berjualan juga, tapi karena aku pun pernah berjulan donat serupa
itu ketika dulu semester awal. “Si Nenek, mau di bantu kok malah naikin harga“,
berbagai keluhan lain bergejolak di batinku. Sampai-sampai aku sudah berencana
akan mengumumkannya pada teman-temanku di asrama. Terus saja pikiran negatif
tentang hal itu bermunculan tak terkendali.
Hingga di tengah perjalanan pulang, ada satu kalimat yang
sejak tadi tertutup oleh kata-kata negatif. “Bagaimana jika Nenek tua itu
adalah Nenekku?“. Terbayang seketika wajah Nenekku dikampung sana, kemudian
terpasang pada wajah Nenek penjual donat tadi. Ah tidak. Aku tak sanggup
membayangkan.
Ku tata ulang semua pemikiranku. Bagaimana mungkin aku
begitu rugi dengan nominal 4000 rupiah, bukankah harga kuota internet jauh
lebih mahal? Dan aku tak pernah menyesal apalagi merasa rugi karenanya.
Bagaimana bisa aku berpikir bahwa si Nenek berlaku curang? Ku paksa pikirku
menerima kemungkinan yang lain. Mungkin
harganya memang sudah naik, atau donatnya bukan donat yang sama dengan yang ada
di kampus atau dengan yang pernah aku jual waktu itu. Bagaimana bisa aku
berpikir untuk menjelek-jelekkan Nenek tua di depan teman-temanku hanya karena
uang 4000 rupiah? Apa tujuanku bercerita? Agar teman-temanku tahu bahwa aku
berniat menolong, berjiwa demawan? Lalu tak jadi, karena tak sesuai misi.
Kemudian menjelekkan si Nenek agar nantinya tak ada lagi yang membeli donatnya?
Astagfirullah, Ya Allah. Begitu picik pikiran hambaMu
yang satu ini. Begitu kikir pada harta titipan yang sebenarnya ada hak orang
lain di dalamnya. Begitu takut akan kemelaraan duniawi. Empat ribu rupiah,
membuatku menjadi seorang yang lebih buruk dari Yahudi. Yang tega
menjelek-jelekkan saudaranya sendiri. Padahal telah Engkau berikan aku
berkali-kali lipat dari yang aku berikan pada Nenek tadi sore. Masha Allaaah..
Seketika aku merasa jadi manusia paling tidak
berperikemanusiaan di bumi ini. Lekas-lekas ku hapus semua pemikiran buruk
tadi. Mengutuki diri sendiri yang benar-benar tak tahu diri. Ku batalkan
rencanaku untuk bercerita pada teman-teman. Bahkan saat ada teman yang bertanya
harga donat bermesis cokelat itu, aku tak menjawab. Hanya ku katakan, “habiskan
saja donatnya“.
Semoga aku dapat belajar dari kejadian sore ini. Sedekah
dan ikhlas.
Komentar
Posting Komentar