Bagaimana Jika Kesiapan Kita Tak Bertemu di Waktu yang Sama?





07 Januari 2018
11:35
Pembicaraan  kemarin malam sebenarnya membuatku resah.  Pembicaraan yang sensitif baik bagiku terutama baginya. Siapa aku dan siapa dia? Aku dan dia bukan siapa-siapa, dulu. Hanya menjadi kawan sekelas yang kemudian memiliki intensitas bercanda, bertukar cerita dan berbagi rasa lebih sering di bandingkan kawan-kawan yang lain. Bahkan sampai saat ini, setelah kami tak lagi sekelas. Bandung-Jakarta terbentang jarak, tapi tak mengubah intensitas aku dan dia berkomunikasi. Bahkan kami berjanji tuk tak saling mencari pendamping hidup. Karena kelak aku menjadi pendampingnya dan dia menjadi pendampingku.
Pembicaraan malam itu berawal dari kisah sahabatku. Ia yang saat ini tengah tinggal di sebuah pesantren di Bandung menjalin hubungan dengan seorang pemuda. Pemuda ini yang kemudian membuat ia sering di panggil oleh Akang dan Eteh (panggilan kepada pemilik pesantren) karena kerap kali ketahuan jalan berdua dengan pacarnya. Hingga suatu hari, sahabatku kembali di panggil, dan kali ini lebih serius. Ia ditanya keseriusan dengan kekasihnya itu, jika memang sudah mantap maka segeralah pertemukan dua keluarga. Jangan berlama-lama menjalin hubungan yang tak disuka agama.
Aku merinding mendengar ceritanya. Bagaimana rasanya ditanya hal seperti itu oleh seorang guru, nampak seperti manusia hina menurutku. Padahal kelakuanku juga tak kalah buruk hanya aku tak sempat tertangkap mata oleh Akang dan Eteh. Kalau sampai mengalami hal yang sama, maka tamatlah hidupku.
Kejadian horor ini ku ceritakan padanya. Bukan untuk maksud menakut-nakutinya, hanya karena sudah kegiatan rutinku bercerita apa saja padanya. Hingga di akhir percakapan, ku tanyakan bagaimana jika Ia yang berada di posisi tersebut. Lagi-lagi bukan untuk maksud tertentu, hanya menyambung percakapan saja.
Kemudian kamu mejawab, “Aku kalau ditanya serius, ya pasti serius. Tapi kalau harus nikah sekarang-sekarang, aku belum siap. Aku masih kuliah“. Beberapa detik ku biarkan lengang. Layar handphone sudah kunci kembali, dan aku masih menatap lengang. Tak ingin segera membalas chat di whatsapp. Dan akhirnya jariku bergerak, terkirim satu emoticon tertawa.
Entah apa yang aku rasakan, seperti ada hal yang menggangu. Jawabannya seolah menjawab pemikiran-pemikiran acakku mengenai hal berbau pernikahan. Aku bukan orang yang mengejar target nikah di usia muda, bukan pula tipikal orang yang mudah baper ketika melihat rekan sejawat bergandengan tangan dengan mahromnya. Pemikiranku mengenai hal itu, masih tabu. Masih ku anggap abstrak, karena tanggung jawabku sebagai anak pertama di keluarga masih jauh lebih penting. Kehidupanku pun belum sempurna, banyak hal yang harus aku coba. Tapi tak dapat di sangkal, pemikiran ke arah sana kadang melintas satu dua kali, untuk kemudian aku tepis tak ku biarkan kembali. Tapi jawaban dia, entah bagaimana caranya berhasil menggangguku. Padahal pertanyaanku, sekadar menyambung percakapan, bukan untuk ku bawa perasaaan.
“Aku masih kuliah“. Itu terdengar klasik. Kalimat yang sering ku dengar dari cerita teman-temanku. Kalimat ini fix menjadi kalimat pendukung pada kalimat utama “Aku dan kamu nampaknya tidak akn bertemu“. Kalimat itu diam-diam menggangguku selama ini. Aku dan dia adalah kawan sekelas di SMA, meski sebenarnya usiaku satu tahun lebih tua darinya. Hubungan yang terjalin di antara kami bukan seperti ABG yang lekat karena predikat pacaran. Aku dan dia hanya berkomitmen tak saling mencari. Tak ada alasan ragu pada kata ‘serius‘ yang sering kali ia ucapkan. Aku percaya, ia tak sedang bercanda denganku.
Tapi meski demikian, aku sulit sekali meyakinkan diri bahwa aku akan bertemu dengannya nanti. Maksud bertemu disini adalah ya menikah, punya keturunan dan tua bersama. Berkali-kali mencoba meyakinkan hati. Ia selalu berkata “Tuhan sesuai prasangka hamba Nya“. Tapi selalu ku jawab, jodoh itu takdir bukan nasib yang dapat di ubah. Entahlah mana teori yang betul mengenai hal itu.
Aku memang belum berpikir detail mengenai hal ini dan itu, tapi kemudian sebagai seorang wanita aku perlu memikirkan beberapa hal mengenai usia menikah. Setidak pedulinya aku pada urusan itu saat ini, tapi aku membatasi diri di usia 25-27. Sebenarnya, aku ingin lebih lama membangun karir, tak masalah kalaupun harus melampaui angka tersebut. Tapi kembali pada keadaanku sebagai perempuan, aku akan mengandung, melahirkan kemudian menjadi ibu. Aku mahasiswi Biologi, yang di ajarkan bagaimana sistem reproduksi pada seorang wanita. Bagaiman usia mempengaruhi resiko pada seorang wanita yang hamil dan melahirkan. Aku tak akan ambil peduli, jika resiko yang di dapat hanya cemooh dari keluarga atau masyarakat. Aku hanya berpikir, bagaimana jika nanti aku meninggal saat melahirkan anak pertamaku, karena usiaku yang tak lagi muda saat melahirkan. Anakku akan menjadi piatu sejak lahir. Rasanya aku tak sanggup membayangkan. Aku tahu itu kehendak Tuhan, tapi kembali manusia memiliki tugas berusaha. Berusaha agar hal itu tak benar-benar terjadi.
Baiklah, kembali pada kalimat “Aku masih kuliah”. Hubungan kalimat ini dengan hal yang telah ku jelaskan adalah kesiapan dia nanti. Kalimat ini seolah menjadi kalimat pembuka, untuk banyak kalimat serupa, seperti “Aku belum kerja, aku belum mapan,  dan bla bla bla..“. sebenarnya ini berdasarkan cerita-cerita yang sering ku dengar, yang ujung ceritanya bisa kalian tebak sendiri. Aku paham maksud laki-laki yang mengatakan belum bekerja, belum mapan dan lain-lain itu semata-mata untuk membahagiakan pasangannya setelah pernikahan. Tapi entahlah, perempuan memang sulit dimengerti. Satu sisi tak ingin menunggu lama dan sisi lain tak ingin hidup sengsara.
Sekali lagi aku bukan perempuan yang begitu mendambakan pernikahan, prioritasku belum sampai kesana. Tapi dengan dia berkata seperti itu, aku seolah bisa menebak bagaimana akhir cerita aku dan dia. Andai saja ia tak menambahkan satu kalimat itu, cukup “Aku belum siap“, rasanya aku tak akan seterganggu ini. Bukan tanpa alasan, seperti yang ku ceritakan di awal aku dan dia terpaut satu tahun. Maka ketika kesiapan itu sudah ada padaku, belum tentu kesiapan yang sama ada padanya. Karena aku mengerti, jiwanya adalah jiwa seorang petualang. Langkah dan perjalanannya akan jauh lebih panjang dariku. Maka kesiapan antara aku dan dia sulit untuk hadir di waktu yang sama.
Bukan maksudku untuk mengehentikan harap dan meyakini sepenuhnya rasa yang menggangguku. Aku akan terus berbicara pada Tuhan dan menepis pemikiran-pemikiran yang seharusnya tak perlu aku pikirkan.

Komentar