Sumber : Google |
20 Januari 2018
14:30
Aku tengah duduk di sebuah ruangan yang cukup luas,
tersekat oleh dinding besi (aku tidak tahu namanya) berwarna hijau, yang
sewaktu-waktu dapat terbuka menjadikan ruangan ini lebih luas dari biasanya. Jemariku
tengah asyik menari-nari di keyboard laptop, tapi kemudian ku dengar orang
berbincang-bincang di seberang dinding.
“Gimana nasib hapalan Didi?“ suara seorang perempuan
terdengar. Ku buka headset yang sedari tadi mencocoki telinga. Hasrat
manusia memang selalu ingin tahu, maka ku perintahkan kuping untuk mendengarkan
pembicaraan mereka. Tanpa harus melihat, aku tahu itu suara Teh Lucy dan kedua
adik laki-lakinya. Sekilas mengenai sosok Teh Lucy, yang aku tahu ia adalah
seorang perempuan gigih yang berjuang menghidupi keluarganya. menggantikan sosok Ayah yang telah meninggal
beberapa tahun lalu.
Dua adiknya setahun belakangan memang ikut merantau ke
Bandung. Yudi dan Didi tinggal di pesantren yang berbeda. Didi tinggal di
pesantren kitab, karena ia memang sudah mengkhatamkan 30 juz Alquran. Usia Didi
terpaut empat tahun di atas Yudi. Sedangkan Yudi, ikut di pesantren Teh Lucy,
sama-sama proses menjadi seorang penghapal Alquran. Ku lanjutkan kembali acara
menguping perbincangan tiga bersaudara ini. Tidak sopan memang, tapi entah
kenapa aku yakin pembicaraan mereka akan bermanfaat bagiku.
Semakin
lama, arah pembicaraan seperti semakin memanas. Terdengar dari suara Teh Lucy semakin
menunjukkan nada yang tak biasa. Ia mendesak Didi untuk menjawab semua
pertanyaannya dengan jujur. Sedikit cerita mengenai Didi. Didi saat ini memang
sudah hapal 30 juz dan entah bagaimana ia ingin menjadi seorang dokter. Itu
memang bukan hal yang mustahil, tapi aku hanya bingung, ia tak bersekolah
formal semenjak lulus Sekolah Dasar. Ia mengikuti gurunya di pesantren sampai
ne Indonesia Timur sana. Salut sebenarnya, bagaimana orang yang tak mengenyam
pendidikan formal kemudian bercita-cita menjadi seorang akademisi, seorang
dokter. Karena berdasarkan pengalaman, orang yang bertahun-tahun hidup di
pesantren tok, tak akan memikirkan kehidupan dunia luar, terutama
akademik. Kemudian, jadilah Didi tinggal di Bandung untuk mengejar sekolah
paket dan bimbel di tempat bimbel ternama. Semua itu bisa terjadi, karena Teh Lucy
yakin Didi bisa mewujudkan impiannya itu terutama dengan bantuan Alquran. Dan
ia telah melihat sendiri bagaimana adiknya itu akan berusaha keras untuk
mengejar yang ia inginkan. Seperti saat Didi menghapal Alquran dulu. Maka ia
dukung habis-habisan adiknya dan banting tulang agar bisa memenuhi kebutuhannya
untuk menjadi seorang dokter kelak.
Kembali
ke pembicaraan tiga bersaudara ini, yang aku tangkap ternyata Teh Lucy ini
khawatir pada Adiknya. Ia merasa Didi telah berubah. Maka ia tanyakan ibadah-ibadah
sunnah yang biasa Didi kerjakan sehari-hari, karena menurutnya dari hal itulah
ia akan tahu adiknya benar-benar berubah atau hanya perasaannya saja. Didi tak
kunjung menjawab, ia selalu bilang itu adalah urusan pribadinya. Jujur saja, aku yang mendengar jawaban Didi,
entah mengapa ikut merasa sakit hati. Sampai akhirnya Didi mengaku bahwa
tahajud dan duha nya sudah jarang ia kerjakan. Aku tahu, Teh Lucy pasti terluka
mendengarnya. Kemudian, Teh Lucy bertanya tentang hapalannya. Bagaimana ia murojaah
(mengulang hapalan), berapa banyak waktu yang ia habiskan untuk menjaga
hapalannya. Didi seperti tersinggung dengan pertanyaan ini. Nadanya sedikit
naik ketika menjawab bahwa itu adalah urusan pribadinya, yang tak perlu Teh
Lucy khawatirkan. Aku kaget mendengar Didi seperti itu. Bagaimana tidak? Yang
aku tahu Didi sosok yang bersahaja, tak jauh berbeda dengan Teh Lucy. Lalu
kemudian berani membentak kakak perempuannya. Orang yang selama ini
berjuang mati-matian untuk selalu
memenuhi kebutuhannya.
Teh Lucy menangis. Dan aku ikut menangis. Aku seperti
merasakan bagaimana menjadi posisi Teh Lucy. Seorang kakak yang begitu
menyayangi adik-adiknya, tapi kemudian harus mendengar Adiknya mengatakan
“jangan campuri urusannya”. Suara Teh Lucy
semakin tak terdengar, sepertinya ia sudah tak tahu harus berkata apa. Sampai
akhirnya Teh Lucy berkata bahwa Didi bukan seperti Didi yang ia kenal dulu.
Tadinya ia hanya ingin meminta Didi untuk ikut mengaji di pesantren ini ketika
subuh. Karena jarak pesantrennya memang tak terlalu jauh. Agar ia tetap mampu
menjaga hapalannya. Tapi ternyata, Didi menolak dan malah menuduh Teh Lucy
terlalu mencampuri urusannya.
Teh
Lucy terus bertanya apa yang membuat Didi berubah. Didi diam seribu bahasa. Aku
rasa, Didi mulai menyesal telah membuat kakak perempuannya menangis. Teh Lucy
mereview kegiatan sehari-hari Didi. Basket dan Bimbel menjadi bahan
pembicaraan. Didi memang meminta les basket juga di Bandung, semata-mata karena
ia menyukainya dan Teh Lucy lagi-lagi mengizinkan, padahal biaya untuk les
basket tidak bisa dibilang murah. Buat apa main basket, bimbel, sekolah
paket kalau akhirnya membuat hapalan Didi berkurang. Semua itu gak akan dibawa
ke akhirat Di, Alquran yang udah pasti nyelametin kita di akhirat. Deg! Aku
ikut diam, termenung. Orang-orang banyak yang pengen kaya Didi, prosesnya
susah, beda sama sama Didi yang Allah kasih kesempatan dan Allah kasih
kemudahan. Jaga yang udah Didi dapet. Jangan sampe ilang karena kegiatan dunia Didi. Makin sesak dadaku mendengarnya. Mataku seolah
terbayang hal-hal yang telah aku lakukan untuk memuliakan Alquran dan ternyata
belum ada yang aku lakukan.
Benar saja bukan, menguping pembicaraan tiga bersaudara
ini membuatku merenungi banyak hal. Ternyata selama ini aku sibuk dengan
duniaku, amat sangat sibuk hingga aku lupa bahwa aku adalah makhluk Tuhan yang
diciptakan hanya untuk beribadah kepadaNya. Dari semenjak membuka mata ketika
tidur, rencana-rencana dunia sudah antri untuk aku kerjakan. Padahal dalam satu
hadits jelas dikatakan “Barang siapa yang bangun pagi dan hanya dunia yang
dipikirkannya, seolah dia tidak melihat hak Allah dalam dirinya, maka Allah
menanamkan empat macam penyakit: 1. Kebungan yang tiada putusnya 2. Kesibukan
yang tak jelas akhirnya 3. Kebutuhan yang
merasa selalu tidak terpenuhi 4. Khayalan yang tidak berujung wujudnya.
Dan aku rasa Allah telah mmenanamkannya padaku. Astaghfirullaah....
Komentar
Posting Komentar