23:40
Kita
semua tahu, kabar duka sabtu kemarin begitu menggemparkan. Sebuah bus
pariwisata terguling di jalan Subang-Bandung mengakibatkan 27 orang meninggal
dan puluhan lain luka-luka. Beberapa media berlomba-lomba memberitakan dari
berbagai sudut. Mulai dari mengangkat penyebab kecelakaan, kesedihan keluarga
korban sampai mitos yang beredar di tempat terjadinya kecelakaan yaitu Tanjakan
Emen Desa Cicenang Kabupaten Subang.
Aku baru membaca beritanya sore tadi, karena
keterbatasan kuota internet yang hanya bisa digunakan untuk chatting. Dan
setelah membaca beberapa berita, aku tahu bahwa semua korban ternyata adalah
perempuan, para ibu yang berniat berlibur dari suatu Koperasi Simpan Pinjam
daerah Tangerang Selatan. Membaca itu, entah bagaimana aku menangis. Terbayang bagaimana
para ibu-ibu yang biasanya heboh dan rempong harus terlempar kesana kemari
dalam bus saat bus terjungkal, menabrak tebing pinggir jalan, bagaimana
wajah-wajah yang senantiasa menyiapkan sarapan pagi itu terjepit badan bus yang
memaksa mereka meregang nyawa, meninggalkan dunia beserta sanak saudara.
Tangisku semakin tak
terkendali saat membaca salah satu berita yang menceritakan kesedihan seorang anak
dari salah satu korban. Sang anak mengatakan bahwa Ibu sudah dilarang Ayahnya
untuk pergi, tapi Ibu tetap pergi dan tak pernah kembali. Allaaaaaaahkuuu.....
Seketika aku ingin pulang.
Aku ingin memastikan Ibu baik-baik saja di rumah. Hampir satu tahun aku tak
berjumpa, bukan tidak rindu hanya waktu yang belum memberi saat untuk bertemu.
Seketika itu juga aku mengingat Tuhan. Semua doa ku rapal, agar Tuhan berkenan
menjaga Ibu dan Ayah dirumah. Karena tak ada kekuatan lain, takkan ada kuasa
yang lain yang mampu menjaga malaikatku selain Allahku. Ku mohon, ku mohon, ku
mohon biarkan aku berbakti lebih lama pada kedua malaikatku Allah.
Lalu kemudian aku
menyadari, aku begitu takut pada hal yang mutlak akan terjadi. Mati. Aku takut
kehilangan orang-orang yang aku sayangi. Aku takut mati. Aku takut tak kuat
menahan sakitnya meregang nyawa. Aku takut berjumpa Izrail yang kelak tanpa
ampun menarik nafas dari jasadku. Dan aku takut sendiri dalam liang tanah merah
nanti. Kenapa aku begitu takut Allah? Karena aku tak memiliki amal? Oh Allahku,
ampuni ampuni ampuni kehinaanku.
Lalu terpikir pula untuk apa aku tertawa-tawa di dunia, bahkan kadang
menertawakan nasib yang Allah beri, menyangka dunia tak akan berakhir?
Mengapa aku begitu menghamba pada dunia, hingga rela menjadi budak
mengikuti setiap permainannya?
Mengapa aku berleha-leha menyia-nyiakan waktu, padahal Allah sediakan waktu
hanya untuk menabung amal?
Allah aku ingin berdiam saja di tempat ini. Menjadi pengabdi
terbaik di pesantren ini (karena kebetulan aku tinggal disebuah pesantren).
Mengaji, menghapal Alquran agar kelak aku mati di tempat yang suci. Tak perlu
berdarah-darah, karena aku sungguh tak sanggup membayangkannya Allah. Meski aku
tahu, maut itu urusanMu tak dapat ku pilih waktu dan tempatnya. Juga agar nanti
aku bisa mengangkat orang tuaku dari siksaMu, tapi tentu saja aku berharap
mereka sama sekali tak tersentuh siksaMu. Aku ingin menjadi sebab orang-orang
yang aku sayangi menuju surgaMu Allah.
Berikan selalu kesadaran kepadaku, Allah. Ingatkan aku,
bahwa aku hambaMu bukan hamba dunia. Bahwa tugasku hanya memujaMu, bukan menuja
dunia. Peringatkan aku bahwa aku pasti mati, tak akan kekal abadi. Bimbing aku
selalu dijalanMu, Allahku.
Komentar
Posting Komentar