MEMBLOKIR SESEORANG DI WHATSAPP?



Photo Source: https://articles-images.sftcdn.net/wp-content/uploads/sites/3/2017/12/00-whatsapp-tips-lead_stuff-664×374.png
05 Februari 2018
16:22
Pernahkah kamu memblokir seseorang di Whatsapp?
Kira-kira karena alasan apa?
Dia melakukan kesalahan padamu?
Kamu ingin menghindarinya?
Atau ada hal lain?
Lalu bagaimana reaksi ketika kamu bertemu dengan orang yang kamu blokir tersebut?

Aku pernah memblokir dua orang di whatsapp, baru dua orang dan mudah-mudahan tak bertambah. Satu orang teman laki-laki dan satu orang teman perempuanku. Teman laki-lakiku ini adalah teman semasa SMA, yang saat ini terlampau dekat meski tanpa status apa-apa. Entah bagaimana aku sering berkomunikasi dengan orang ini sampai sekarang kami ada di tingkat akhir perkuliahan. Karena sering komunikasi itulah aku dan dia sering pula bertengkar, mempermasalahkan hal sepele. Karena aku tipe orang yang mudah terbawa perasaan, maka segeralah ku blokir kontak whatsappnya, terkadang malah ku blokir juga akun media sosial yang lain agar aku tak dapat menghubunginya. Bukan supaya dia tidak menghubungiku, tapi sebaliknya. Karena dia adalah orang pertama yang selalu mendengar cerita-ceritaku, setiap hal baru di hidupku dia pasti lebih dulu tahu. Karena itulah aku blokir, agar tanganku tak gatal untuk mengetik cerita ku ke dia. Tapi namanya teman baik, selalu ada hal yang membuat kita baikan untuk kemudian ku blokir lagi disuatu hari karena hal sepele yang lainnya. Hoho
Orang kedua sebenarnya bukan temanku karena kami tak seusia. Memangnya teman harus seusia? Yaa tidak juga. Hanya sebelumnya kami tak pernah berada di lingkungan yang sama. Dia adalah teman dari temannya adik kelasku sewaktu di SMA –ribet yak- yang entah bagaimana di titipkan kepadaku. Aku yang sama sekali tak mengenalnya, harus menjemputnya di teminal Cicaheum karena yang seharusnya menjemput berhalangan dan aku dimintai tolong olehnya. Karena kami memang berasal dari daerah yang sama dan dia pertama kali ke Bandung, maka dia dititipkan kepadaku agar bisa tinggal di asrama yang sama denganku.
Seminggu, dua minggu, tiga minggu entah bagaimana dia begitu labil. Asramaku hanya dijadikan tempat singgah untuk dia mendapatkan tempat tinggal (pesantren) yang lain. Pengurus asrama dan teman-teman yang lain sudah mulai bertanya, dia menetap disini atau menumpang? Lalu sampai kapan? Ini sudah tiga minggu, kalau statusnya tamu maka tidak bisa lebih dari 3 hari seharusnya. Aku bingung. Rasanya tak tega jika harus bertanya ‘kapan pulang?’ atau ‘sampai kapan disini?‘ aku tidak sanggup. Tapi mau bagaimanapun dia adalah tanggung jawabku, aku yang membawanya ke asrama. Dan aku yang harus melakukannya.
Dengan basa basi yang berlebihan, aku mulai menuju inti pembahasan –meski dengan berat hati-. Dia menyebutkan satu nama hari. Segera ku laporkan pada pengurus. Mereka mentolelir, asal jika setelah itu dia masih belum pulang maka harus izin ke pemilik asrama untuk tinggal menetap diasrama ini atau pulang segera dengan sedikit paksaan. Terdengar kejam? Sebenarnya sih tidak sedramatis itu. Biasa saja seperti kehidupan di asrama yang lain.
Dan kemudian yang membuatku sedikit jengkel, satu hari sebelum hari kepulangannya, aku tak melihat tanda-tanda dia akan pulang. Dia tak membereskan baju di jemuran, cuciannya masih di ember dan lain-lain. Dan benar saja, keesokan harinya ia mengundur waktu lagi. Menyebut dua atau tiga hari setelah hari itu. ‘Baiklah‘ kataku dalam hati.
Hari itu tiba, aku akan mengantarnya ke terminal setelah duhur. Lagi-lagi aku melihat ia sama sekali tak bersiap di pagi hari. Pokoknya mau tidak mau aku harus tegas untuk hari ini. Aku juga merasa tidak enak pada pengurus asrama. Karena ternyata, mereka juga mendapat pertanyaan yang sama dari setiap penghuni asrama, ‘sampai kapan temanku menginap di asrama?‘. Ternyata dugaanku benar, ia nampak seperti orang yang tidak ingin pulang. Ku coba katakan dengan nada biasa, bahwa kita akan pergi setelah duhur karena menunggu baju yang ia cuci tadi pagi mengering atau setidaknya sedikit mengering. Ia tak menjawab.
Duhur tiba, aku segera bersiap. Dan dia bergerak lambat sekali, masih belum mandi, masih belum merapikan baju, hingga aku berkata agar lebih cepat karena diluar langit sudah mendung. Akan sulit jika bepergian dalam keadaan hujan terutama ke terminal. Ia sudah mandi, sudah berkemas, tapi geraknya tetap lambat, hingga aku terus menunggu dan menunggu. Ku ajak ia –lagi- agar lebih cepat dan kukatakan diluar akan segera turun hujan. Diluar dugaanku, ia menjawab ‘gak usah aja kalau emang hujan’. Sedikit berbisik, tapi cukup jelas terdengar. Jantungku berdetak cepat. Aku berusaha mencerna apa maksud perkatannya. Hingga rasanya emosiku tak dapat di tahan, akhirnya aku mengatakan apa yang sebenarnya terjadi ketika ia dengan labil datang dan tinggal di asrama. Tentang Orang-orang yang terus saja bertanya mengenai statusnya di asrama kemudian bergunjing, tentang aku yang seperti mendapat teror –meskipun mereka hanya sekedar bertanya-, dan mengenai kebijakan asrama yang harusnya menampung tamu tidak lebih dari tiga hari. Nada bicaraku sedikit naik, tapi itu hasil terbaik dari usahaku menahan emosi. Dia hanya diam.
Aku berusaha menarik napas, bagaimanapun usianya tiga tahun di bawahku dan ia datang ke Bandung seorang diri. Aku tak tega jika harus membuatnya menangis. Ku bayangkan kelak adikku di perlakukan sama ketika merantau nanti. Ku coba untuk berdiskusi dengan kepala dingin, ku tanya bagaimana maunya. Dan ku berikan opsi, jika ia ingin lebih lama tinggal di asrama, maka ikut denganku menghadap pemilik asrama untuk mendaftarkan diri sebagai warga asrama. Dari raut wajahnya ia Nampak menolak.
Akhirnya setelah beberapa saat, aku berhasil membawanya ke pintu keluar asrama, setelah berpamitan dengan penghuni asrama yang lain. Izin sebentar kerumah pemilik asrama untuk berterimakasih dan memohon maaf. Aku hampir menangis ketika aku meminta maaf untuk ketidaknyamanan penghuni lain karena kedatangan tamuku. Dan berterimakasih atas izin menginap yang lebih lama di bandingkan tamu yang lain. Ia lebih banyak diam. Aku paham, dia hanya gadis yang baru lulus SMA masih sulit untuk berbicara seperti itu. Akhirnya aku dan dia dalam perjalanan menuju terminal, rasa lega tak dapat aku sembuyikan.
Di perjalanan aku mencoba lebih banyak mengobrol, ku kira tak ada salahnya mencairkan suasana di akhir pertemuan. Kurasa dia memang masih polos, aku tak melihat kebencian di matanya. Padahal jelas-jelas aku ‘mengusir’nya dari asrama. Dia bercerita lebih banyak hal. Mengenai orang tua yang sakit, mengapa ia sendirian ke Bandung, dan bagaimana keluarganya di Serang Banten. Baiklah, aku mengakui aku terlampau jahat. Rasanya aku terlalu keras pada gadis usia 18 tahun ini. Tapi sungguh aku sama sekali tak bermaksud demikian. Aku hanya sedang sibuk mempersiapkan proposal peneliatianku, tapi di satu sisi aku tak mungkin membiarkannya terus diam di asrama, ia pun terkadang memintaku untuk pergi melihat-lihat Bandung. Dan keadaanku saat itu sedang tak punya uang. Uangku hanya cukup untuk ongkos pulang pergi ke kampus. Dan juga karena dia adalah tamuku, aku tak mungkin menyamakan makananku dengannya. Aku terbiasa makan dengan apa yang ada, baso ikan, mie, dan telur ceplok hampir tak pernah berganti. Maka tentu saja sebagai tuan rumah yang baik aku harus menjamu tamuku dengan baik pula. Tapi seperti yang ku katakan, aku sedang tidak memiliki uang. Maka hal-hal ini menimbulkan perasaan yang ganjil didiriku. Meskipun sebenarnya ia sering mengatakan ia bisa beli makan sendiri, tapi seperti kata teman-teman sekamarku yang lain, ia hanya mau makan ketika ada aku –bersamaku-.
Mobil bertuliskan ‘Arimbi‘ itu menjauh, membawanya meninggalkan Bandung. Dan kehidupanku serasa kembali normal. Ia sering mengirim pesan kepaku di whatsapp bertanya kabar atau apa saja. Menurutku, ia terlalu baik padaku. Hingga suatu hari ia berkata bahwa ia ingin kembali ke Bandung, ke asramaku. Duniaku seperti terhenti. Beberapa hari tak ku balas chat nya. Aku bingung apa yang harus ku katakan. Tapi akhirnya ku balas juga. Aku lupa, pesan seperti apa yang ku kirimkan. Namun setelah itu aku memblokir kontaknya whatsappnya. Bukan untuk memutus silaturahmi, hanya saja aku benar-benar sibuk saat itu. Penelitian tugas akhirku akan segera dimulai.
***
Dan saat ini, ia ada disini. Tinggal kembali di asrama, dikamarku. Sebulan yang lalu ia tetiba menyapaku dari balik pintu. Beberpa detik sepertinya aku tak bergerak menatapnya. Kaget dan terkejut. Oh baiklah bagaimana aku menjelaskan jika ia bertanya kontak whatsappku yang  tak dapat di hubungi. Alasan hilang? Ganti nomor? Atau rusak? Ah seketika aku pusing. Tapi nyatanya sampai saat ini, setelah ia sebulan tinggal bersamaku, ia tak pernah menanyakan hal itu. Sikapnya tak ada yang berubah terhadapku, masih polos, masih menganggap aku adalah orang baik. Namun sikapku berbeda. Aku cenderung tak banyak bicara dan menghindari keadaan berdua dengannya. Aku tahu ini salah. Dan ini sangat tidak benar. Aku juga tidak ingin seperti ini. Tapi entah bagaimana aku terlalu sulit mengendalikan diriku sendiri. Tentu saja ini adalah PRku. Mengendalikan diriku sendiri. Karena orang yang sukses bukan orang yang mecapai cita-citanya, tapi mereka yang berhasil menguasai dirinya sendiri. Setidaknya begitu kata-kata bijak yang pernah ku dengar.
Seperti itulah kisahku ketika blok-memblok kontak whatsapp. Tak ku sangka akan sepanjang ini ceritanya. Ini bukan untuk ditiru. Tapi untuk dijadikan pelajaran. Kuasai egomu, jangan sampai merusak silaturahmi. Karena Tuhan tak akan menyukainya.

Komentar