DEAR DIRA


27 Juni 2018
21:29

Dear Dira,
Dia pernah memanggilmu, Dira. Pernah berteman dengan kotak musik bersenandung nada sendu. Memandangi seorang penari balet yang tak bosan berputar di atas kotak berwana biru itu. Sama tak bosannya dengan dia yang yang terus menunggu, berharap ada suaramu dalam alunan nada sebuah kotak musik yang pernah kau berikan dulu.
Masih ingatkah, Dira?
“Itu masa lalu“ katamu.
Aku tahu. Bahkan dia pun tak lagi memanggilmuu Dira. Karena menganggap kamu pun masa lalu baginya. Aku hanya memastkan kamu mengingatnya. Karena aku saksi hidup bagaimana kamu tersenyum  saat bersapa dengan dia. Tertawa dengan segala gurauan yang memang tak ku dengar, tapi aku tahu kamu bahagia.
Aku menyaksikan bagaimana dia bahagia membersamaimu. Bersyukur pada setiap detik yang ia lalui bersama tatapanmu. Tak segan melakukan hal konyol hanya untuk melihatmu tersenyum dan tak berputus asa pada dunia. Aku menyaksikannya, Dira.
“Sudahlah jangan diingat lagi“ katamu selanjutnya.
Dira, tidak baik menghapus begitu saja nama seoraang anak manusia yang pernah tak berkedip menatap matamu. Jahat rasanya jika kamu begitu saja mengabaikan seorang anak manusia yang rela tak tidur demi mendengar segudang ceritamu. Pernah mencemaskanmu, saat seharian tak bisa menghubungimu, kemudian menangis saat kamu tiba-tiba hadir dan mengatakan ‘aku baik-baik saja’.
“Lalu aku harus bagaimana?, Kamu ingin aku mengingatnya lagi”  Kamu berkata dengan raut wajah yang nampak tidak paham dengan jalan pikiranku.
Bukan, Dira. Bukan seperti itu. Aku hanya tak ingin kamu melupakannya begitu saja. Tak peduli lagi pada setiap hal yang terjadi padanya. Karena aku takut. Aku takut caramu melupakan dia adalah cara yang sama dengan caramu melupakanku. Aku takut, kamu tidak peduli pada apaun yang berhubungan denganku. Aku sama seperti dia, Dira. Pernah merasakan dunia begitu indah hanya dengan melihat kamu tersenyum. Pernah merasa membuatmu tertawa adalah cita-citaku sepanjang hidup. Pernah merasakan teramat cemas, saat kamu hilang tiba-tiba tanpa komukikasi. Aku merasakannya, Dira. Aku hanya tak pernah memberitahumu tentang itu.
Aku tidak tahu, Tuhan mengiyakan atau tidak pada apa yang kita cita-citakan hari ini. Jikapun Tuhan berkata tidak, aku sungguh tidak siap menjadi masa lalumu dan menjadi manusia yang namanya kamu hapus dari kehidupanmu. Lalu kelak kamu mengatakan hal yang sama pada manusia yang Tuhan takdirkan membersamaimu seumur hidup, bahwa aku hanya masa lalu, tak perlu diingat, tak perlu lagi di pedulikan. Ah, sudahlah Dira, cukup. Membayangkannya saja sukses membuatku sulit bernapas. Ketakutanku memang terlampau jauh. Bukankah Tuhan sudah memperingatkan agar kita tak perlu mencemaskan hal yang belum terjadi?, Maafkan aku Tuhan.
Baiklah, Dira. Aku akhiri. Ingtalah kembali, pernah ada seorang anak manusia yang merasa dengan perasaan tak berbeda denganku terhadapmu, meski itu dulu.

Komentar

Posting Komentar