01:10
Sejak kecil aku adalah orang yang ambisius terhadap semua hal. Dari
mulai yang remeh temeh hingga rangking di kelas yang tidak boleh direbut orang
lain. Aku selalu menganggap semuanya adalah persaingan. Hingga bersahabat pun
aku selalu ingin diutamakan, dan akhirnya hal itu yang membuatku melampaui
batas. Tak termaafkan kala itu. Tapi saat ini aku bukan ingin membicarakan
persahabatan, melainkan tentang bagaimana aku mengapresiasi diriku sendiri
terhadap semua hal yang ku peroleh.
Sifat
kompetitif yang ada sejak kecil itu perlahan mulai luntur ketika aku duduk di
bangku perkuliahan. Entah bagaimana aku tak lagi melecut diri agar selalu jadi
yang terbaik. Mungkin karena aku merasa aku tidak bisa bersaing dengan teman-temanku yang
notabene berasal dari kota dengan pengetahuan yang lebih luas. Jadi, aku mundur
teratur. Tapi, sebenarnya sifat itu bukan hilang hanya berganti objek. Bukan
lagi orang lain yang ku jadikan kompetitor, tapi aku berkompetisi dengan diriku
sendiri, yang ternyata jauh lebih sulit. Contohnya aku berkompetisi dengan
malas, ngantuk dan godaan lainnya untuk menyelesaikan tugas tepat waktu atau
bahkan hanya untuk sekadar mandi pagi, yang akan sangat sulit dilakukan ketika
musim hujan tiba.
Lalu sejak itulah aku
harus terus belajar menghargai diriku sendiri. Memenuhi hak dan kewajibannya
dengan baik. Aku menerapkan hukuman dan hadiah ketika aku berhadapan dengan
sesuatu yang menurutku penting. Meski sebenarnya, hukumannya jarang sekali aku
laksakan. Tidak ku tepati. Misalnya jika aku mengerjakan tugas dengan baik dan
fokus seharian penuh maka sore harinya aku hadiahi diriku dengan
makanan-makanan yang jarang ku makan sehari-hari, atau aku akan menginzinkan
diriku pergi naik bus kota lalu duduk di Jalan Braga tanpa tujuan yang jelas.
Karena bagiku itu Me time banget. Tapi jika tidak terlaksana, maka
biasnya aku menghukum dengan tidak boleh ada jajan dan tidak ada main handphone.
Meski sebenarnya itu hanya bohong belaka.
Kemarin saat aku terancam mundur
sidang hasil skripsi dan artinya mundur wisuda ke tahun depan, segera ku
tawarkan reward pada diri sendiri jika aku berhasil menyelesaikan naskah
skripsi tepat waktu dan mendapat persetujuan untuk maju sidang. Sore itu,
setelah berlelah ke kampus dua mengejar dosen pembimbing, finally beliau
mengiyakan aku sidang di bulan ini. Seperti orang gila, aku tak henti tersenyum
sumringah selama perjalanan kembali ke kampus satu. Entah orang-orang di angkot
berpikir apa saat itu. Terselamatkan dari penambahan semester dan uang kuliah
tunggal yang mesti ku bayar andai tak sidang bulan ini. Otakku sudah melayang, reward
seperti apa yang mesti ku berikan pada diriku sendiri. Pelbagai macam makanan
melayang di atas kepala, seolah aku tinggal memilih. Meski sebenarnya makanan
itu bukan makanan mewah. Hanya semacam seblak, bakso, cokelat dan lain-lain
yang harganya tidak lebih dari sepuluh ribu. Tapi itu sangat spesial bagiku,
karena aku harus ekstra hemat tinggal di Bandung untuk menghargai keadaan
keluarga yang pas-pasan di kampung sana.
Sesampainya dikampus satu,
aku sibuk memilih makanan yang berlapak di depan kampus. Saat tak juga
mendapatkan yang sesuai, aku ke sebrang jalan. Hendak membeli makaroni yang
biasanya memiliki antrian mengular itu. Tapi saat menyebrang jalan, tanpa ku
kehendaki mataku fokus pada toko buku di samping pedagang makaroni, dengan
variasi harga yang sangat menggoda. Dan benar saja aku dengan mudahnya tergoda.
Aku asyik memilah buku yang berbandrol harga lima ribu rupiah yang berada dalam
box bukan di rak buku, seperti buku-buku yang lain. Ku dapatkan dua buku. Keduanya
dengan kemasan kusam sedikit berdebu. Satu buku dengan harga lima ribu rupiah dan
satu lagi sepuluh ribu rupiah. Setelah itu aku langsung menyetop angkot, dan
pulang. Ternyata hal itu membuatku jauh lebih puas dan bahagia ketimbang memuaskan
diri dengan makanan.
Dan setelah hari itu, aku
berjanji pada diriku sendiri untuk memprioritaskan reward berupa membeli
buku. Meski bukan buku mahal, tak masalah. Ilmu tidak dinilai dari mahal atau
murahnya sebuah buku. Karena bagiku, ada buku yang harus aku miliki raganya
atau cukup dengan ku miliki jiwanya (membacanya). Tentu saja sebenarnya itu
sembari membatin bahwa suatu hari aku akan memiliki buku-buku di rak yang
tersusun rapi itu. Lengkap dengan raknya, hehe.
Sebenarnya inti cerita ini
adalah belilah buku, dan dapatkan kebahagiaan karena telah memilikinya. Uang
yang kamu keluarkan tak akan pernah sia-sia dan tak akan menjadi sisa. Tidak seperti
makanan yang nikmatnya sekejap, lalu sisanya dibuang tubuh begitu saja. Sisa dari buku hanya ilmu yang akan diproses tubuh untuk kematangan pikir dan kalbu. Sekali
lagi, tidak perlu mahal. Cukup dengan niat memiliki, maka buku akan kamu
dapati.
Ayok Jajan Buku!
Nice kak selalu :')
BalasHapus