AYOK JAJAN BUKU



Sumber : Dokumentasi Pribadi
21 Juli 2018
01:10

            Sejak kecil aku adalah orang yang ambisius terhadap semua hal. Dari mulai yang remeh temeh hingga rangking di kelas yang tidak boleh direbut orang lain. Aku selalu menganggap semuanya adalah persaingan. Hingga bersahabat pun aku selalu ingin diutamakan, dan akhirnya hal itu yang membuatku melampaui batas. Tak termaafkan kala itu. Tapi saat ini aku bukan ingin membicarakan persahabatan, melainkan tentang bagaimana aku mengapresiasi diriku sendiri terhadap semua hal yang ku peroleh.
            Sifat kompetitif yang ada sejak kecil itu perlahan mulai luntur ketika aku duduk di bangku perkuliahan. Entah bagaimana aku tak lagi melecut diri agar selalu jadi yang terbaik. Mungkin karena aku merasa aku tidak bisa bersaing dengan teman-temanku yang notabene berasal dari kota dengan pengetahuan yang lebih luas. Jadi, aku mundur teratur. Tapi, sebenarnya sifat itu bukan hilang hanya berganti objek. Bukan lagi orang lain yang ku jadikan kompetitor, tapi aku berkompetisi dengan diriku sendiri, yang ternyata jauh lebih sulit. Contohnya aku berkompetisi dengan malas, ngantuk dan godaan lainnya untuk menyelesaikan tugas tepat waktu atau bahkan hanya untuk sekadar mandi pagi, yang akan sangat sulit dilakukan ketika musim hujan tiba.
            Lalu sejak itulah aku harus terus belajar menghargai diriku sendiri. Memenuhi hak dan kewajibannya dengan baik. Aku menerapkan hukuman dan hadiah ketika aku berhadapan dengan sesuatu yang menurutku penting. Meski sebenarnya, hukumannya jarang sekali aku laksakan. Tidak ku tepati. Misalnya jika aku mengerjakan tugas dengan baik dan fokus seharian penuh maka sore harinya aku hadiahi diriku dengan makanan-makanan yang jarang ku makan sehari-hari, atau aku akan menginzinkan diriku pergi naik bus kota lalu duduk di Jalan Braga tanpa tujuan yang jelas. Karena bagiku itu Me time banget. Tapi jika tidak terlaksana, maka biasnya aku menghukum dengan tidak boleh ada jajan dan tidak ada main handphone. Meski sebenarnya itu hanya bohong belaka.
            Kemarin saat aku terancam mundur sidang hasil skripsi dan artinya mundur wisuda ke tahun depan, segera ku tawarkan reward pada diri sendiri jika aku berhasil menyelesaikan naskah skripsi tepat waktu dan mendapat persetujuan untuk maju sidang. Sore itu, setelah berlelah ke kampus dua mengejar dosen pembimbing, finally beliau mengiyakan aku sidang di bulan ini. Seperti orang gila, aku tak henti tersenyum sumringah selama perjalanan kembali ke kampus satu. Entah orang-orang di angkot berpikir apa saat itu. Terselamatkan dari penambahan semester dan uang kuliah tunggal yang mesti ku bayar andai tak sidang bulan ini. Otakku sudah melayang, reward seperti apa yang mesti ku berikan pada diriku sendiri. Pelbagai macam makanan melayang di atas kepala, seolah aku tinggal memilih. Meski sebenarnya makanan itu bukan makanan mewah. Hanya semacam seblak, bakso, cokelat dan lain-lain yang harganya tidak lebih dari sepuluh ribu. Tapi itu sangat spesial bagiku, karena aku harus ekstra hemat tinggal di Bandung untuk menghargai keadaan keluarga yang pas-pasan di kampung sana.
            Sesampainya dikampus satu, aku sibuk memilih makanan yang berlapak di depan kampus. Saat tak juga mendapatkan yang sesuai, aku ke sebrang jalan. Hendak membeli makaroni yang biasanya memiliki antrian mengular itu. Tapi saat menyebrang jalan, tanpa ku kehendaki mataku fokus pada toko buku di samping pedagang makaroni, dengan variasi harga yang sangat menggoda. Dan benar saja aku dengan mudahnya tergoda. Aku asyik memilah buku yang berbandrol harga lima ribu rupiah yang berada dalam box bukan di rak buku, seperti buku-buku yang lain. Ku dapatkan dua buku. Keduanya dengan kemasan kusam sedikit berdebu. Satu buku dengan harga lima ribu rupiah dan satu lagi sepuluh ribu rupiah. Setelah itu aku langsung menyetop angkot, dan pulang. Ternyata hal itu membuatku jauh lebih puas dan bahagia ketimbang memuaskan diri dengan makanan.
            Dan setelah hari itu, aku berjanji pada diriku sendiri untuk memprioritaskan reward berupa membeli buku. Meski bukan buku mahal, tak masalah. Ilmu tidak dinilai dari mahal atau murahnya sebuah buku. Karena bagiku, ada buku yang harus aku miliki raganya atau cukup dengan ku miliki jiwanya (membacanya). Tentu saja sebenarnya itu sembari membatin bahwa suatu hari aku akan memiliki buku-buku di rak yang tersusun rapi itu. Lengkap dengan raknya, hehe.
            Sebenarnya inti cerita ini adalah belilah buku, dan dapatkan kebahagiaan karena telah memilikinya. Uang yang kamu keluarkan tak akan pernah sia-sia dan tak akan menjadi sisa. Tidak seperti makanan yang nikmatnya sekejap, lalu sisanya dibuang tubuh begitu saja. Sisa dari buku hanya ilmu yang akan diproses tubuh untuk kematangan pikir dan kalbu. Sekali lagi, tidak perlu mahal. Cukup dengan niat memiliki, maka buku akan kamu dapati.
Ayok Jajan Buku!

Komentar

Posting Komentar