Kisah SBMPTN: Mengakhiri Tanpa Pernah Memulai



Kartu peserta SBMPTN 2014

11 Mei 2018
07:53

Petang kemarin aku menginjakkan kaki kembali di Bandung setelah sepuluh hari menenangkan diri di rumah. Bukan  menenagkan diri sebetulnya, tapi melarikan diri dari kepungan skripsi yang tak berkesudahan. Baru saja aku duduk di bus kota arah Leuwi Panjang – Cicaheum, adzan maghrib terdengar. Aku beruntung, karena ternyata bus kota ini adalah bus terakhir untuk hari ini. Bus mulai ramai, pedagang asongan dan pengamen beraksi sambil menunggu bus jalan.
Bus baru saja keluar dari terminal, mulai memasuki jalanan yang macetnya luar biasa. Orang-orang baru keluar kerja, kendaraan di jalan raya mengular tak tau ekornya sebelah mana. Bapak-bapak dihadapanku memulai pembicaraan, mengeluhkan bahwa ia tadi sudah naik mobil dengan arah yang sama, tapi entah kenapa diturunkan di Leuwi Panjang lagi tempat ia naik bus kota. Samar-samar kudengar orang disebelah kanan Bapak itu menjawab pertanyaannya. Dalam hati aku bergumam ‘Bapak ini pasti bukan orang Bandung’. Dan benar saja, Bapak ini dari Tasikmalaya. Anak laki-laki berkemeja merah di sampirng kirinya ternyata anaknya yang sedang mengikuti Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggu Negeri (SBMPTN) di Bandung. Mereka hendak pulang dan bus arah Tasik memang ada di terminal Cicaheum.
SBMPTN tahun ini di selenggarakan selama dua hari, yaitu tanggal 08 dan 09 Mei. Tentu saja ini akan sedikit menyulitkan bagi orang-orang yang jauh dari ibukota provinsi seperti Tasikmalaya, terlebih jika tidak memiliki kerabat sama sekali. Aku tak menyimak lagi pembicaraan Bapak itu dengan orang-orang di sampingnya. Sambil mendekap ransel ungu pikiranku menerawang mengenang kisah SBMPTNku beberapa tahun lalu.
Saat masa-masa kritis di SMA, mencari informasi mengenai dunia perkuliahan adalah hal yang menyenangkan. Bermimpi mendapat kursi di universitas terbaik dengan jurusan yang sesuai keinginan. Masa-masa itu tentu saja tak akan terulang lagi. Mataku berkaca-kaca karena perpaduan sedih dan ngantuk setelah seharian dalam perjalanan. Kembali menerawang. Tibalah saat jalur masuk universitas dibuka. Semua jalur undangan ku ikuti, SNMPTN, undangan khusus politeknik, dan SPAN-PTKIN. Yang jebol hanya SPAN-PTKIN -_-. Karena jalur ini diperuntukan khusus perguruan tinggi islam negeri, maka aku lolos dipilihan pertama Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung dengan jurusan yang sesuai, Biologi. Aku sempat menangis saat portal SNMPTNku berwarna merah, tidak lolos.  Itu adalah plan A ku. Jalur lain hanya plan B, C, pokoknya cadangan jika aku gagal di plan A. karena pemikiranku masih amat sangat ideal saat itu, aku tak puas dengan hasil SPAN-PTKIN maka aku mencoba jalur tulis, SBMPTN. Suara hati kecilku sebenarnya ingin ke Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, tapi aku cukup tau diri dengan segala kemampuanku. Akhirnya aku coba di Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto dengan jurusan yang sama, Biologi.
Sebulan lamanya aku mengikuti Learning Camp Beasiswa Perintis ITB semacam bimbingan belajar untuk persiapan SBMPTN di Bandung. Meski aku harus menangis darah disana karena tidak mampu mengikuti kemampuan belajar peserta lain (Baiklah ini berlebihan). Akhirnya tibalah hari itu. SMK Prisma Serang menjadi tempatku melaksanakan SBMPTN. Karena tinggal di Banten, maka Kota Serang menjadi tempat pelaksanaan SBMPTN. Dan terjadilah. Aku menangis seperti orang pesakitan di pojokan mesjid. Kartu peserta SBMPTN ku tertinggal.
Sebenarnya sejak semalam sebelum hari tes, aku tahu bahwa kartu tes ku tertinggal dirumah. Posisi kala itu, aku sudah di kosan. Saat itu belum panik, karena aku pikir itu bukan masalah. Soft file kartu SBMPTN ada di laptop yang bodohnya ku tinggal juga dirumah, ku coba ke warnet, hendak mencetak ulang kartu tersebut. Naas, halamannya sudah tidak dapat akses. Aku kembali ke kosan dengan tangan kosong. Karena sudah terlalu malam, aku tak mungkin meminta Bapak untuk mengantarkannya. Dan keesokan harinya aku harus berangkat setelah subuh karena jarak ke ibukota provinsi cukup jauh dari tempatku tingggal. Aku masih berprasangka semua akan baik-baik saja.
Sampailah di SMK Prisma. Tas sudah ku letakkan di meja yang tertulis nomor peserta milikku. Hinnga bel masuk berbunyi. Aku mulai gelagapan. Saat pengawas menyuruh meletakan kartu peserta diatas meja, aku menghampiri mejanya sebelum pengawas sendiri yang menemukan mejaku kosong tanpa kartu peserta. Ku katakana bahwa kartu tes tertinggal. Pengawas bingung. Menyarankan agar aku ke ruang panitia di pojokan SMK Prisma. Aku menurutinya. Pintu panitia ku ketuk, masuk, kemudian berbincang. Panitia tak memperbolehkanku masuk ruangan tanpa kartu tes. Alternatifnya, tunjukkan soft file nya atau antarkan kartunya oleh siapapun sebelum jam sepuluh pagi itu. Dalam hati aku mengumpat ‘kenapa aku tak membawa laptop. Padahal biasanya laptop tak pernah hilang dari tas punggungku!‘. Lalu kalau harus diantarkan, oleh siapa? Bapak pasti sudah ke pergi ke sawah karena Bapakku petani di kampung dan Bapak sudah tidak sanggup mengendarai motor lintas kota. Aku tak akan tega. Aku mencoba menawarkan pilihan lain. Aku akan kembali ke tempat ini besok untuk mengantarkan kartu tes. Asal jangan hari ini, jam sepuluh pula. Aku berharap panitia mengerti. Ternyata panitia menggeleng. Semua alternatif buntu. Aku mulai menangis sebelum bisa memutuskan  harus bagaimana. Akhirnya aku harus menundukkan ego, mengakhiri tes SBMPTN tanpa pernah memulainya. Aku kembali ke kelas dengan air mata yang masih belum mengering. Peserta lain sedang serius membuka lembaran-lembaran soal. Menatap keheranan kearahku yang baru masuk ruangan dan menangis. Aku mengambil tas di meja, memberi tahu pengawas bahwa aku tidak dapat mengikuti tes. Pengawas perempuan itu menatap iba. Ku ucapkan salam  padanya, kemudian keluar dari ruang kelas.
Runtuhlah dinding-dinding impian. Terbang sudah sayap harapan. Seketika. Karena keteledoranku. Tangisku makin menjadi setelah sampai di pojokan mesjid. Aku tak segera pulang karena menunggu teman yang juga tes disana. Ku telepon Ibu, mengatakan aku tak jadi ikut SBM sembari sesenggukan. Ibu sepertinya tersenyum, tidak panik sama sekali. Ibu hanya bilang rezekiku artinya memang di Bandung. Di universitas Islam Negeri disana. Aku makin sesak menahan tangis. Aku sadar aku terlalu sombong. Aku sibuk meminta yang lain, padahal Allah telah jelas menempatkanku dimana. Aku lupa akan syukur, aku lupa bahwa tujuanku mencari ilmu, bukan mencari universitas. Dan tentu saja aku lupa, bahwa bisa duduk di bangku perkuliahan adalah keberuntungan. Karena banyak teman-temanku yang tak dapat melanjutkan studi karena berbagai keadaan.
***
Bus kota semakin berjejal. Petang itu mataku meneteskan bulir air yang segera kuhapus dengan ujung jari. Bibirku tersenyum mengingat bagaimana Allah menggariskan takdir kepadaku. Sembari menatap wajah Bapak dan anak di hadapanku, aku berdoa semoga Allah menempatkan anaknya di tempat terbaik.

Note: Untuk kalian yang tanggal 03 Juli 2018 mendapati hal yang serupa denganku, kegagalan. Setidaknya kalian pernah berjuang. Bersyukurlah selalu atas segala keadaan. Yakin bahwa Allah selalu menempatkan kita di tempat terbaik, bukan yang menurut kita baik.

Komentar