11 November
2018
14:12
Akhir-akhir ini aku merasa ada yang salah
dengan psikisku. Beban menjadi pengangguran setelah sarjana cukup menguras
energi, betapapun aku menguatkan diriku sendiri denagn berkata bahwa Allah
ingin aku beristirahat sejenak atau malah terkadang aku berpikir ini
teguranNya, karena semasa skripsi kemarin, aku terlalu banyak mengeluh dan
membayangkan betapa indahnya menjadi si A, si B yang lebih banyak memiliki
waktu luang. Ternyata beginilah rasanya, terlalu banyak waktu luang.
Tapi cukup, itu bukan hal yang ingin aku ceritakan. Cerita mengenai
masa pengangguranku akan ku ceritakan di lain waktu. Aku ingin menceritakn hal
yang turut mengganggu keadaan psikisku. Mengenai toilet Seorang penghianat.
Aku
tinggal di sebuah asrama (baca: pesantren), tentu saja mau tidak mau harus
selalu berurusan dengan orang banyak. Sudah sarjana masih pesantren? Tidak
ada batasan untuk menuntut ilmu bukan?, setidaknya tempat ini yang membuat
hidupku masih ada setitik harapan, meski kadang ingin sekali aku indekos,
seperti teman-teman kampus yang lain. Itu hal yang wajar. Manusia memang tidak
bisa hidup sendiri, Zoon Politicon kalau kata Aristoteles, karena itu di
asrama aku dituntun untuk berbagi. Berbagi segala hal, kamar tidur, dapur, peralatan masak,
dan toilet. Kata terakhir, Toilet atau kamar mandi menjadi satu-satunya tempat
privasi di asrama. Toilet inilah yang menyebabkan aku menulis cerita ini.
Sore itu, seperti biasa aku hendak mandi dengan seember cucian
yang akan ku cicil satu persatu. Ada tiga toilet di asrama, dua di atas dan
satu di bawah. Toilet favoritku (toilet ajah ada favoritnya -_-) itu
disebut toilet kecil, karena ukurannya memang lebih kecil dan tertutup. Orang-orang
cenderung lebih suka kamar mandi besar karena katanya tidak pengap. Setelah
berteriak ‘toilet kecil kosong?‘ dan tidak ada yang menjawab barulah ku masuk. Karena
disini, kosong bukan berarti tak berpenghuni, biasanya sudah ada yang booking.
Setelah beberapa menit, tetiba ada yang mengetuk, salah lebih tepatnya
menggedor pintu toilet. Berteriak siapa yang mengisi toilet kecil. Dari
suaranya aku tahu itu siapa dan dari nadanya, aku juga tahu dia marah. Aku
tidak ingin disalahkan, karena sebelumnya aku sudah berteriak dan tidak ada
yang merespon. Tandanya toilet ini bebas tak berpenghuni. Dia tetap ngotot
bahwa sudah antri sejak tadi. Baiklah, daripada msemakin memanas, aku mengalah.
Untungnya aku masih mencuci, ku bawa keluar peralatan mandiku dan pindah ke toilet
bawah.
Lagi-lagi baru beberapa menit aku mencuci di toilet
bawah, suara orang itu terdengar lagi, sebut saja Mrs. Uul. Dia terdengar berbicara dengan kawan sekamarnya di tangga bawah
yang letaknya di depan toilet. Tubuhku memanas mendengar Mrs. Uul ternyata
membicarakanku. Menyebut namaku dan mengatakan kata ‘geuleuh‘ yang artinya
jijik karena aku masuk kamar mandi yang telah ia booking tanpa
pemberitahuan. Ingin sekali aku keluar menampakkan diri, bahwa kau mendengar
percakapannya, tapi aku hanya bisa berteriak dari toilet berkata bahwa aku
mendengarnya. Aku tak bisa keluar karena sedang mencuci dan tidak memakai
kerudung (letak toilet bawah, dekat dengan pintu keluar asrama).
Sepertinya
Mrs. Uul tidak mendengar teriakanku. Karena saat keluar ia sudah tidak ada,
hanya kawannya yang tersenyum kaku padaku. Sejak saat itu, tak sedikitpun
kepercayaanku tersisa pada Mrs. Uul ini. Di asrama, ia terhitung kawan baikku,
kawan seangkatan, banyak hal yang kami lakukan bersama terutama berkenaan
dengan tugas asrama. Sama sekali tak menyangka bahwa persoalan toilet dapat
membuatnya melupakan persahabatan. Menjadikan jiwa yang ku kenal baik menjadi
sosok penghianat terbaik. Aku paham, setiap manusia memiliki salah dan lupa
tapi penghianatan tetap tak bisa aku maklumi. Kalau bisa aku gambarkan, lebih
sakit ditusuk saat memeluk dari pada di tusuk dalam peperangan. Sakitnya bukan
hanya fisik, tapi psikis.
Terkadang
aku juga merasa berlebihan, terlalu membesar-besarkan, tapi nyatanya hatiku
memang tidak menerima. Dampaknya adalah hilangnya tegur sapa. Pernah sekali dua
kali ia bersapa seperti biasa, seolah lidahnya tak pernah menusuk tajam
sanubari, aku hanya membalas sekenanya. Aku tipe manusia yang tak bisa memaki,
semuanya hanya tertimbun dan membusuk dalam hati. Ia sepertinya tdak tahu,
bahwa aku mendengar percakapannya.
Karena itulah ia tak ada malu dan sama sekali tak meminta maaf padaku.
Apakah aku memaafkan? Berulang kali aku meminta hatiku
berdamai. Memaafkan. Karena aku sendiri yang merugi, dan mesti banyak
introspeksi diri, namun tetap saja aku tak bisa memandang dengan tatapan yang
sama padanya. Satu sisi aku juga mengatakan padad diriku sendiri bahwa ini
sebuah pelajaran berarga, Allah mengingatkanku untuk selalu berhati-hati dengan
lidahku sendiri. Teguran juga untukku yang terlalu banyak membicarakan orang
lain, meski dalam hati membatin ‘tapi aku tidak membicarakan sahabatku
sendiri, ya Allah‘ (tetap saja membicarakan!). Ini yang ku sebutkan
mengganggu psikis ku. Saat aku ingin melupakan, memaafkan, dan menganggapnya
hal biasa, tapi nyatanya hati tetap menolah, lidah tetap bungkam tak ingin
bersapa. Jalan terakhir, aku hanya bisa berdoa pada yang Maha membolak balikan
hati, bersihkan, terangkan, damaikan hatiku. Jika memang aku tak dapat kembali
memandangnya sebagai sahabat dan mempercayainya seperti dahulu, tapi setidaknya
izinkan hatiku berdamai. Aamiin.
Komentar
Posting Komentar