TOILET SEORANG PENGHIANAT!

Sumber Gambar : https://www.google.com/search?q=toilet+jahat+kartun&safe=strict&client=firefox-b&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwijkffGsNTeAhXMro8KHaLkDe4Q_AUIDigB&biw=1366&bih=632#imgrc=8NVZcWJesC561M:


11 November 2018
14:12

            Akhir-akhir ini aku merasa ada yang salah dengan psikisku. Beban menjadi pengangguran setelah sarjana cukup menguras energi, betapapun aku menguatkan diriku sendiri denagn berkata bahwa Allah ingin aku beristirahat sejenak atau malah terkadang aku berpikir ini teguranNya, karena semasa skripsi kemarin, aku terlalu banyak mengeluh dan membayangkan betapa indahnya menjadi si A, si B yang lebih banyak memiliki waktu luang. Ternyata beginilah rasanya, terlalu banyak waktu luang.
            Tapi cukup, itu bukan hal yang ingin aku ceritakan. Cerita mengenai masa pengangguranku akan ku ceritakan di lain waktu. Aku ingin menceritakn hal yang turut mengganggu keadaan psikisku. Mengenai toilet Seorang penghianat.
Aku tinggal di sebuah asrama (baca: pesantren), tentu saja mau tidak mau harus selalu berurusan dengan orang banyak. Sudah sarjana masih pesantren? Tidak ada batasan untuk menuntut ilmu bukan?, setidaknya tempat ini yang membuat hidupku masih ada setitik harapan, meski kadang ingin sekali aku indekos, seperti teman-teman kampus yang lain. Itu hal yang wajar. Manusia memang tidak bisa hidup sendiri, Zoon Politicon kalau kata Aristoteles, karena itu di asrama aku dituntun untuk berbagi. Berbagi segala hal, kamar tidur, dapur, peralatan masak, dan toilet. Kata terakhir, Toilet atau kamar mandi menjadi satu-satunya tempat privasi di asrama. Toilet inilah yang menyebabkan aku menulis cerita ini.
Sore itu, seperti biasa aku hendak mandi dengan seember cucian yang akan ku cicil satu persatu. Ada tiga toilet di asrama, dua di atas dan satu di bawah. Toilet favoritku (toilet ajah ada favoritnya -_-) itu disebut toilet kecil, karena ukurannya memang lebih kecil dan tertutup. Orang-orang cenderung lebih suka kamar mandi besar karena katanya tidak pengap. Setelah berteriak ‘toilet kecil kosong?‘ dan tidak ada yang menjawab barulah ku masuk. Karena disini, kosong bukan berarti tak berpenghuni, biasanya sudah ada yang booking. Setelah beberapa menit, tetiba ada yang mengetuk, salah lebih tepatnya menggedor pintu toilet. Berteriak siapa yang mengisi toilet kecil. Dari suaranya aku tahu itu siapa dan dari nadanya, aku juga tahu dia marah. Aku tidak ingin disalahkan, karena sebelumnya aku sudah berteriak dan tidak ada yang merespon. Tandanya toilet ini bebas tak berpenghuni. Dia tetap ngotot bahwa sudah antri sejak tadi. Baiklah, daripada msemakin memanas, aku mengalah. Untungnya aku masih mencuci, ku bawa keluar peralatan mandiku dan pindah ke toilet bawah.
Lagi-lagi baru beberapa menit aku mencuci di toilet bawah, suara orang itu terdengar lagi, sebut saja Mrs. Uul. Dia terdengar berbicara dengan kawan sekamarnya di tangga bawah yang letaknya di depan toilet. Tubuhku memanas mendengar Mrs. Uul ternyata membicarakanku. Menyebut namaku dan mengatakan kata ‘geuleuh‘ yang artinya jijik karena aku masuk kamar mandi yang telah ia booking tanpa pemberitahuan. Ingin sekali aku keluar menampakkan diri, bahwa kau mendengar percakapannya, tapi aku hanya bisa berteriak dari toilet berkata bahwa aku mendengarnya. Aku tak bisa keluar karena sedang mencuci dan tidak memakai kerudung (letak toilet bawah, dekat dengan pintu keluar asrama).
Sepertinya Mrs. Uul tidak mendengar teriakanku. Karena saat keluar ia sudah tidak ada, hanya kawannya yang tersenyum kaku padaku. Sejak saat itu, tak sedikitpun kepercayaanku tersisa pada Mrs. Uul ini. Di asrama, ia terhitung kawan baikku, kawan seangkatan, banyak hal yang kami lakukan bersama terutama berkenaan dengan tugas asrama. Sama sekali tak menyangka bahwa persoalan toilet dapat membuatnya melupakan persahabatan. Menjadikan jiwa yang ku kenal baik menjadi sosok penghianat terbaik. Aku paham, setiap manusia memiliki salah dan lupa tapi penghianatan tetap tak bisa aku maklumi. Kalau bisa aku gambarkan, lebih sakit ditusuk saat memeluk dari pada di tusuk dalam peperangan. Sakitnya bukan hanya fisik, tapi psikis.
Terkadang aku juga merasa berlebihan, terlalu membesar-besarkan, tapi nyatanya hatiku memang tidak menerima. Dampaknya adalah hilangnya tegur sapa. Pernah sekali dua kali ia bersapa seperti biasa, seolah lidahnya tak pernah menusuk tajam sanubari, aku hanya membalas sekenanya. Aku tipe manusia yang tak bisa memaki, semuanya hanya tertimbun dan membusuk dalam hati. Ia sepertinya tdak tahu, bahwa aku mendengar percakapannya.  Karena itulah ia tak ada malu dan sama sekali tak meminta maaf padaku.
Apakah aku memaafkan? Berulang kali aku meminta hatiku berdamai. Memaafkan. Karena aku sendiri yang merugi, dan mesti banyak introspeksi diri, namun tetap saja aku tak bisa memandang dengan tatapan yang sama padanya. Satu sisi aku juga mengatakan padad diriku sendiri bahwa ini sebuah pelajaran berarga, Allah mengingatkanku untuk selalu berhati-hati dengan lidahku sendiri. Teguran juga untukku yang terlalu banyak membicarakan orang lain, meski dalam hati membatin ‘tapi aku tidak membicarakan sahabatku sendiri, ya Allah‘ (tetap saja membicarakan!). Ini yang ku sebutkan mengganggu psikis ku. Saat aku ingin melupakan, memaafkan, dan menganggapnya hal biasa, tapi nyatanya hati tetap menolah, lidah tetap bungkam tak ingin bersapa. Jalan terakhir, aku hanya bisa berdoa pada yang Maha membolak balikan hati, bersihkan, terangkan, damaikan hatiku. Jika memang aku tak dapat kembali memandangnya sebagai sahabat dan mempercayainya seperti dahulu, tapi setidaknya izinkan hatiku berdamai. Aamiin.

Komentar