Sumber gambar: https://kopertis3.or.id/v5/2018/09/17/penyampaian-data-lulusan-wisuda/ |
14 Oktober 2018
09:35
Hari ini hampir genap sebulan aku lulus kuliah. Menjalani prosesi wisuda dengan segenap sukacita yang menyelimuti. Sanak
saudara dari kampung turut hadir hanya untuk menyaksikan seorang anak yang dulu
gemar bermain karet gelang, sebulan lalu mengenakan toga layaknya tokoh utama
di sinetron-sinetron. Maka, kakek, dua nenekku, paman, bibi, serta sepupu-sepupu
rela meluangkan waktu untuk datang ke Bandung, melihat aku berubah status
~mahasiswa menjadi sarjana~.
Sebulan
lalu adalah salah satu masa yang tidak dapat terulang dikemudian hari.
Mengingat
masa sebulan lalu, membuatku menghela napas panjang. Betapa tidak, aku masih belum berbuat apa-apa
sampai hari ini. Ternyata aku turut merasakan sebuah fase yang selalu diceritakan
orang-orang setelah resmi bergelar sarjana. Fase gamang. Aku bukan saja gamang
dengan pertanyaan-pertanyaan ‘mau kerja dimana?’, tapi aku merasa aku belum
siap menjadi orang dewasa. Jika pertanyaan itu datang menerjang, aku biasanya
berkilah dengan alasan aku masih sibuk mengurusi ijazah. Padahal itu bukan
sebenar-benarnya alasan.
Beberapa malam kemarin bahkan hingga tadi malam, aku merenungi
kehidupanku. Benarkah aku sudah wisuda strata satu? Lalu aku ingin kerja
dimana? Pulang atau tetap di perantauan? Karena beberapa orang memintaku
pulang, beberapa membiarkanku bebas memilih pilihan. Lalu aku ingin bekerja
apa? Benarkah aku sudah harus lepas dari tanggungan ibu dan bapakku?. Pertanyaan-pertanyaan
itu dihiasi kenangan masa kecil yang berkelebat seenaknya. Masa dimana aku
hanya tinggal duduk belajar tanpa memikirkan masa depan. Karenanya lah setiap
malam kuhabiskan dengan menangis. Aku belum siap menata hidupku dengan
sebenar-benarnya. Aku belum siap memikul tanggung jawab seorang diri. Meski
pada saat kuliah dulu, aku tidak sabar untuk bekerja agar dapat meringankan beban
keluarga. Tapi nyatanya, aku benar-benar belum siap menjadi seorang sarjana,
menjadi dewasa. Aku ingin kembali ke masa kecil, aku rindu rumah, aku rindu bapak
dan ibu.
Ku biarkan saja perasaan terombang-ambing beberapa hari
kemarin, karena aku tahu itu memang masanya. Aku sampai di fase gamang. Biarkan
kenangan Ibu dan Bapak yang mengasuhku semasa kecil terus menghujam menyesakkan
dada. Karena aku tahu pula, dengan begitu aku tengah berproses menjadi manusia
yang sebenar-benarnya. Tapi tentu saja setelah satu bulan aku berada dalam fase
ini, aku sadar, aku harus segera menghapus air mata. Menjernihkan kembali
pikiran dan perasaan. Membatasi sifat melankolisku mendominasi. Aku sudah harus
menyusun kehidupan baruku. Perlahan saja, tak perlu terburu-buru asalkan terus
bergerak tidak berhenti ataupun mati.
Ku kumpulkan kembali info-info lowongan pekerjaan yang
kemarin-kemarin hanya sempat ku sceenshot lewat smartphoneku.
Membacanya dengan seksama, posisi dan kriteria apa yang dibutuhkan. Semua
website nya aku kunjungi terlebih dahulu sebelum ku putuskan untuk melamar.
Kemudian ku persiapkan persyaratan yang dibutuhkan perusahaan jika perusahaan
meminta mengirim filenya lewat pos. Tapi beberapa di jobstreet hanya
tinggal klik ‘lamar‘ jika dirasa pekerjaan itu sesuai dengan kriteriaku.
Aku tak berani berharap lebih, karena aku tahu diri
dengan pengalamanku di bidang yang ku tekuni memang belum ada sama sekali. Aku
hanya pernah menjadi pengajar privat di beberapa lembaga selama
berkuliah. Sedangkan di perusahaan dan semacamnya, aku belum berpengalaman.
Tapi aku harus tetap optimis dan percaya diri, karena dua hal tersebut adalah
modal untuk aku terus bertahan dalam situasi dan kondisi apapun dan
bagaimanapun. Sesekali mengingat orang tua, itu hal yang wajar. Tapi bukan
untuk kembali merengek dan berpikir ‘aku belum siap menjadi dewasa‘, tapi
sebagai pelecut bahwa aku bisa menjadi manusia dewasa yang akan membanggakan ibu
dan bapak.
Komentar
Posting Komentar