Gadai KTP Bapak untuk Pergi Sekolah
11 Februari
2019
13:45
Setiap
anak pasti mengidolakan orang tuanya. Berharap elak bisa mendidik anaknya
sebagaimana orang tua telah mendidiknya. Aku sebagai anak perempuan, bahkan
sampai menghapkan suamiku bisa seperti bapak nantinya. Aku dan bapak banyak
melewati perjalanan bersama. Dari sekolah dasar hingga lulus kuliah pun, aku belum
lepas dari bapak. Kesana kemari selalu bapak yang menemani. Tidak begitu akrab
sebenarnya karena bapak bukan tipe orang tua yang banyak bicara dengan ankanya.
Bapak lebih senang memerhatikan dan mengorek informasi anak-anaknya dari ibu. Tapi
tetap saja, perhatian bapak jelas kurasakan.
Aku seorang anak pertama
yang mungkin saat itu menjadi kebahagiaan bagi bapak dan ibu, hingga setelah
besar, keduanya mungkin baru merasakan bahwa aku bukan hanya kebahagiaan tetapi
juga beban. Akan banyak kisah tentang itu, tentang aku yang banyak membebani
bapak dan ibu, salah satunya adalah tulisan ini. Tulisan tentang bagaimana
bapak menggadaikan KTPnya demi mengantarku sekolah.
Saat SMA aku sudah tidak
dirumah. Jarak yang jauh mengharuskan aku kost. Bisa saja sebenarnya bulak
balik dari rumah, tapi tidak ada kendaraan umum lewat depan rumahku karena
rumahku ya bisa dibilang pelosok, sedangkan motor hanya ada satu dan selalu
dipakai bapak untuk bekerja. Jadilah kost dirasa lebih baik. Setiap dua minggu
sekali aku pulang dan kembali senin pagi untuk kembali sekolah. Rutinitas
bertahun-tahun, bapak akan mengantarku. Pagi itu, keadaan rumah memang tidak
cukup baik. Membuatku berpikir ‘pasti gara-gara aku‘.padahal aku tidak
tahu apa persisnya yang terjadi.
Bapak bersiap
mengantarkan. Dus yang lumayan besar berisi bekal dan lain-lain bapak simpan
dimotor bagian depan. Kami pergi. Dalam perjalanan, bapak tidak banyak bicara. Tapi
aku merasa ada yang berbeda dengan motor bapak, seperti beberapa kali hendak
mati dan suaranya agak berat jika kecepatan bertambah. Akhrnya motor bapak
berhenti. Mogok. Bapak baru bicara ‘bensinnya habis‘. Lalu spontan aku berkata,
“kenapa tidak beli, kan dari tadi banyak penjual bensin?“. Ku kira bapak tadi tidak melihat penjual bensinnya. Lalu sembari
mendorong motor untuk meminggirkannya bapak berkata lirih “bapak sedang tidak
ada uang“.
Lengang.
Aku tidak bisa berpikir. Beberapa
detik kemudian baru sadar, mungkin ini yang membuat suasana rumah tadi tidak
begitu baik. Ku raba saku baju sekolah, ada beberapa lembar uang yang ku kira
cukup untuk membeli satu atau dua liter bensin. Ku katakan pada bapak untuk
memakai uang itu saja, karena itu juga uang dari bapak. Kata bapak, tidak usah.
Bapak malah menyuruhku untuk bergegas ke
sekolah, khawatir terlambat. Karena kami sudah memasuki kota, maka angkutan
umumpun sudah berlalu lalang. Jelas aku berpikir, kalau aku pergi, bapak
bagaimana? Tapi aku tetap harus ke sekolah. Bapak sudah memberhentikan angkot. Bapak
seolah bilang, uang itu buat jajan bukan
buat beli bensin dan tidak perlu memikirkan bapak.
Dengan berat hati, aku
meninggalkan bapak yang terus menuntun motor entah hendak dibawa kemana. Perlahan
bayangan bapak hilang tertutup jarak. Aku tidak langsung ke sekolah, tapi ke
tempat kost untuk mengambil buku pelajaran. Saat tengah sibuk mencari buku, terdengar
bunyi klakson dua kali dan aku tak asing. Itu suara klakson motor bapak. Aku
lari membuka pintu, dan melihat bapak tersenyum. Bapak membawa dus yang tadi tertinggal
dimotor. Aku bertanya ‘Bapak kok bisa sampe sini?‘, bapak jawab ‘bapak
tadi gadaikan KTP dulu buat beli bensin‘ lalu tersenyum.
Kalimat tu tidak akan pernah aku lupa selama aku hidup.
Bapak akan menjadi alasan untuk ku tak berhenti berjuang dan menyerah pada
dunia. Sehat selalu pak, doakan agar perjuangamu tidak sia-sia telah mendidik
anak-anakmu terutama aku, anak perempuan pertamamu.
Komentar
Posting Komentar