Apakah Aku Semiskin Itu?



Sumber: Google
Apakah aku semiskin itu?

Pernahkah kamu merasakan hal tersebut?
Merasa betapa miskinnya diri sendiri karena tidak bisa memiliki apa yang orang lain lazim miliki?
Aku pernah.

Terlebih semasa kuliah dulu. Yaa, semua itu tentu saja terlepas dari rasa syukur aku masih bisa kuliah. Masa kuliah memnag masa yang paling menohok hati. Perjalanannya benar-benar tidak mudah. Peralihan pergaulan dan lingkungan begitu kentara. Dan aku selalu merasa aku berada di belakang mereka.

Teman-temanku baik, sangat baik bahkan. Tapi ini bukan tentang mereka.
Sebelum menulis saja, mataku sudah berair. Mengingat kisah-kisah masa itu sangat tidak mudah. Terleih bagi seorang perempuan cengeng sepertiku. Karena kisahku terlalu banyak, mungkin aku akan membaginya menjadi beberapa bagian cerita. Pada bagian ini aku akan bercerita megenai smartphone.

Semasa kuliah aku berkali-kali ganti handphone. Bukan gaya, karena memang handphoneku bukan handphone bagus ditambah tidak baru atau bekas pakai. Handphone pertama yang ku bawa sekitar tahun 2014 dulu adalh Nexian. Tahukan model handphone jadul itu? Iya tiruannya Blackbery. Sudah tiruan dan tidak baru. Beberapa keypadnya juga sudah terlepas. Pokoknya saat itu aku hampir tidak pernah mengeluarkan handphone ku di kampus. Aku malu.

Teman-temanku saat itu sudah memakai android. Serba cepat ketika mengerjakan tugas praktikum dan tugas lainnya. Aku mulai bingung ketika tugas sudah mulai dibagikan melalui aplikasi Line. Jangankan Line, membuka internet saja handphone ku tidak berdaya. Beruntung memang aku masih memiliki laptop, dan teman-temanku berkenan mengunggah tugas atau foto hasil praktikum di facebook, agar bisa aku akses. Aku sangat berterimakasih pada mereka yang saabr dengan ketertinggalanku.

Kemudian entah bagaimana handphone ku berganti. Aku lupa prosesnya, sepertinya handphone jadul itu rusak. Berganti menjadi tidak lebih baik. Sama saja. Aku lupa persis merknya, yang ku ingat handphone itu menipu. Aku sempat bahagia, karena betuknya berbeda dan layar sentuh. Tapi kemudian aku sadar itu bukan android. Yang akhirnya tetap saja hanya bisa telpon dan sms. Tentu saja lagi-lagi tidak baru. Entah darimana Bapak mendapatkannya. Handphone ini tidak bertahan lama. Aku ingat betul, saat di laboratorium beberapa temanku mencoba memerhatikan. Apakah handphone ku android atau bukan. Kemudian kulihat satu orang tak sengaja menaruh sikunya di atas jas lab yang dibawahnya ada handphoneku. Krek. Layarnya pecah. Belum sempat aku berkata, ia sudah erkelak bahwa ia tidak melaukan apa-apa. Seolah memang handphoneku saja yang mudah rusak. Pecah layar handphone rasanya seperti pecah juga hatiku. Meskipun bukan handphone bagus, tapi aku hanya punya itu. Dan tidak ku perbaiki karena rasanya akan percuma. Kata teman-temanku biayanya akan cukup mahal. Bahkan mungkin akan lebih mahal dari harga handphonenya sendiri pikir burukku. Kisah handphone itupun berakhir.

Bapak sepertinya bigung mau membelikan handphone yang bagaimana lagi. Karena harga handphone semakin tidak bersahabat. Akhirnya saudaraku mungkin iba, sehingga mereka memberikan satu handphonenya kepadaku. Lagi-lagi aku lupa merknya, karena tidak begitu terkenal. Jenisnya hampir sama seperti handphone sebelumnya touchscreen tapi bukan android. Sudah mendapat sumbangannya saja aku mestinya bersyukur kan? Iya iya sampai saat ini aku sangat berterimakasih pada keluarga tersebut. Tapi lagi-lagi handphonenya tidak bertahan lama. Kali ini lebih tragis. Hilang di angkot. Aku tidak tahu persis handphone itu jatuh, atau memang dicuri. Pikirku, adakah orang yang mau mencuri handphone jenis itu? Tapi bagaimanapun bentuk handphone tersebut, nyatanya aku tetap menangis ketika itu terjadi. Aku bingung bagaimana mengatakan pada Ibu dan Bapak, terlebih pada saudaraku tentunya. Hal tersebut berlalu hingga aku pulang untuk libur semester. Aku tidak tahu apakah saat itu aku tidak memegang handphone atau bagaimana.

Saat di rumah, Bapak mengajaku ke pasar. Bapak bilang mau melihat handphone. Kamu tahu bagaimana perasaanku? Bahagia tidak terkira. Akhirnya aku punya handphone baru pikirku. Sesampainya di pasar, aku mulai bingung karena Bapak mengajakku ke konter kecil. Benar saja, Bapak lagi-lagi mencari handphone bekas pakai atau second. Aku sama sekali tidak bersemangat ketika Bapak menyuruhku memilih anatar Nokia dan Samsung, itu pun tipe jadul. Sementara tepat di toko besar di sebelahku seorang anak tengah asyik memilih smartphone keluaran terbaru bersama ibunya. Ya Allah. Saat itulah aku berpikir, apakah aku semiskin itu sampai tidak bisa membeli sebuah smartphone? Padahal teman-teman dikampungku juga sudah memilikinya. Mengapa aku tidak? Apakah aku benar-benar miskin?

Sulit sekali menyembuhkan perasaan menyakitkan itu. Aku tahu setiap orang tua ingin yang terbaik untuk anak-anaknya. Aku tahu, Bapak pasti membelikan apapun jika ia mampu. Aku sama sekali tidak menyalahkan Bapak dan Ibu, tapi peraaan itu tetap menyakitkan bagi seorang anak pada masa itu.

Singkat cerita aku bertahan lama sekali dengan Samsungku yang berwarna pink. Hingga sekitar semseter 5, aku membeli android pertamaku. Aku menabung dari hasil les privatku di suatu lembaga. Bukan keluaran terbaru tentu saja, aku hanya membeli Smartfren yang saat itu dirasa pas dikantongku. Tapi itu cukup membuatku bahagia. Akhirnya setelah sekian lama aku menantikannya. Sebetulnya aku sedikit memaksakan untuk membelinya, karena tugas kuliah sudah beralih dari Line ke Whatsapp yang tidak bisa lagi ku akses melalui laptop. Oiya saat masih menggunakan Line, ada seseorang yang juga berbaik hati membuatkan akun Lineku dari handphonenya. Sehingga Line bisa aku akses lewat laptop. Terimakasih juga untukmu. Semoga kebaikan senantiasa membersamaimu.
Begitulah kishahku, bagaimana aku merasa miskin sekali hanya karena tidak memiliki smartphone seperti teman-temanku yang  lain. Tapi karena rangkaian kisah tersebut, aku selalu menatap syukur pada smartphoneku yang saat ini ku pegang (sudah bukan smartfren). Yaaa tetap, meskipun bukan keluaran terbaru, tidak apa. Semoga aku tidak mengulangi keluhku yang uruk itu di masa-masa mendatang.


Komentar