JURNAL PENGHUJUNG DUA LIMA 1

JURNAL PENGHUJUNG DUA LIMA

BAGIAN 1

11 Maret 2022


Ini tentang kegelisahan seorang perempuan di penghujung usia dua lima. Saat banyak sekali dikhianati realita. Saat harapan-harapan mengakhiri kisah cinta dengan bahagia harus kandas di saat yang tidak tepat. Saat-saat patah hati tapi pikiran dan tenaga harus tetap kerja rodi demi keberlangsungan hidup di perantauan.


Usia dua lima adalah usia yang sejak awal aku catat akan ada momen bahagia. Bahkan sebelum kisah aku dan dimulai. Memang, kenyataannya usia dua lima tidak mengubah apapun perihal kesiapan pernikahan. Mental, finansial, semua belum terpenuhi. Tapi aku tidak membayangkan bahwa usia dua lima bukan hanya meleset dari target hari bahagiaku, tapi menjadi tahun patah hati terberatku.

Sejak awal aku tahu, aku dan dia adalah sebuah kesulitan. Berulang kali aku berkata, berulang kali juga ia membantah. Katanya tidak ada yang selagi dijalani berdua. Selagi aku yakin padanya. Memang, indah masa-masa itu. Masa-masa tidak peduli dunia berkata apa, asal kuhadapi dengannya aku yakin akan baik-baik saja. Hingga aku berikan kepercayaanku kepadanya, tanpa ada lagi ragu.

Namun memang, usia dua lima ini sangat mempengaruhi. Sangat sensitive sekali pada hal-hal yang berbau keseriusan. Sesekali aku iri pada mereka yang telah menemukan pasangannya dan memulai kehidupan yang baru. Namun lebih sering lagi aku sadar diri, belum siap ilmuku, mentalku, finansialku untuk jadi seperti mereka. Tidak perlu kita saling menceramahi perihal waktu setiap orang berbeda, atau pernikahan bukan sebuah perlombaan, atau bahkan jodoh akan dating di waktu yang tepat. Aku sudah hafal betul kalimat-kalimat itu. Tapi tetap saja, sekali lagi, usia dua lima sangat mempengaruhi.


Hingga tiba akhirnya, hal yang ku takutkan terjadi. Kisahku berakhir. Kami menjadi kawan kembali. Seperti beberapa tahun yang lalu. Aku yang mengakhiri. Aku pula yang menyesali. 

Saat ini mungkin masih ku sesali, tapi aku sadar ini keputusan yang harus ku ambil. Menyesal atau tidak, memang harus berakhir. Bukan hanya perihal pernikahan dan ketidakpastian, tapi kepercayaan. Banyak hal yang berubah darinya, banyak cara yang sudah kucoba untuk berdiskusi dengannya, tapi hubungan berjalan semakin hampa. Ia pun terasa tidak percaya pada dirinya sendiri. Hingga sempat terucap ia akan mundur jika ada orang lain yang lebih siap. Itu jelas bentuk ketidakpercayaan diri. Aku memahaminya. Sejak awal aku memahaminya. Tapi aku tetap kecewa saat kalimat itu terucap. Bagiku itu bukan kalimat bijak tapi kalimat pengecut yang tidak mampu ambil sikap.

Kisah ini bukan perihal benar atau salah. Banyak juga perihal kekuranganku yang mestinya bisa ia jadikan alas an pergi sejak dulu. Kusebutkan satu, supaya adil. Aku tinggal diperantauan, di sebuah kamar kos, seorang diri. Tidak ada teman, tidak ada keluarga yang bisa ku ajak berbicara. Ia adalah satu-satunya penampungan cerita-ceritaku. Kolom pesan rasa-rasanya hanya penuh dengan ocehanku. Tidak jarang bercampur omelanku. Karena itulah aku sering meminta waktunya untuk sekadar bercerita atau berdiskusi. Aku tahu itu sangat mengganggu, terlebih baginya yang tidak memiliki cukup waktu.


Klise sekali kisah kami ini sebetulnya. Hanya sangat disayangkan, mengapa harus berakhir di usia dua lima. Di usia yang penuh dengan harapan-harapan bagiku. Tidak ada yang bercanda ketika menjalin hubungan ini. Aku tahu betul ia pun berjuang, namun memang sulit jika belum ditakdirkan bersama.


Ini penguhujung usia dua limaku. Persis satu bulan kemudian, tidak ada lagi dua lima. Berat sekali aku melepas dua lima. Tidak terima jika ternyata usia semakin dewasa, meski tidak dibersamai akal dan pemikiran. Baiklah kita tutup usia dua lima ini dengan patah hati terberat seumur hidup. Aku akan tetap hidup.

Dan untuknya, maaf sudah terlalu banyak memberi beban dan kesulitan. Sejak awal harusnya kamu bisa menikmati hidupmu dengan tenang. Tidak terburu-buru pun tidak perlu sibuk membagi waktu. Mari kita lanjutkan perjalanan kita masing-masing. Seperti kata Tulus dalam lagu terbarunya “Hati-hati di jalan”, bahagialah segera.


Komentar