14 Oktober 2022
23:51
Akhir-akhir ini aku
sering bertanya-tanya, apakah menikah itu sebuah keharusan? Bagaimana jika aku ingin menjalani hidup sendiri saja?. Pertanyaan-pertanyaan
yang nampak seperti manusia tidak beragama. Pikiranku memang kacau, sampai
menyangsikan Tuhan bahwa aku tidak akan bahagia meski menikah.
Tentu bukan tanpa
sebab.
Aku menjalani hubungan
yang cukup lama. Berteman sejak SMA dan saling menemani hingga masing-masing
mendewasa. Karena satu dan lain hal, hubungan kami harus berakhir. Tepat di
penghujung usia dua puluh limaku. Usia yang dulu aku kira sudah ideal untuk
menuju jenjang selanjutnya. Ternyata Tuhan memilih jalan kebalikannya. Aku hancur,
tapi ku kira aku akan lekas baik-baik saja.
Bukan semakin menerima,
aku malah semakin terluka dengan perpisahan delapan bulan yang lalu. Proses kami
mempertahankan hubungan dengan jarak yang terbentang memang tidak mudah, pertemuan
hanya sebatas satu dua kali setiap tahunnya, maka sepertinya Tuhan juga ingin
proses kami (aku) saling melepas juga tidak mudah.
Saat ini usiaku sudah
dua puluh enam. Enam bulan lagi, jadi dua puluh tujuh. Angka-angka itu sungguh
menakutkan, membuatku menjadi pesimis tentang banyak hal, terutama pernikahan.
“Bisakah
aku menemukan penggantinya di usiaku sekarang?”
“Apakah
dengan menikah aku bisa melupakan semua hal tentang masa lalu?”
“Bagaimana
jika tidak? Apakah aku harus hidup dalam bayang-bayang masa lalu?”
“Bukankah
hidupku menjadi tidak bahagia?”
“Bahkan
menyakiti orang lain juga?”
Seperti itulah kiranya,
pertanyaan-pertanyaan yang berlalu lalang dalam pikiran. Tentang usia yang
tidak lagi muda, sulit untuk memulai hubungan yang baru, kekhawatiran tidak menemukan
orang tersebut, bahkan khawatir saat aku menikah ternyata ia tidak bisa menutup
lukaku. Masa lalu menjadi bayang-bayang dalam rumah tanggaku. Hingga aku harus
mengecewakan orang lain, karena aku yang belum menerima dan mengikhlaskan masa
lalu. Terlalu rumit, padahal belum jelas terjadi.
Sebagai seorang
manusia, tentu aku sangat membutuhkan pendamping. Aku butuh seseorang untuk
mendengar semua keluh kesahku, butuh seseorang yang mendukungku, aku juga takut
kesepian. Itu mungkin salah satu alasan mengapa aku masih merindukannya saat
ini. Aku kehilangan tempatku berbagi cerita.
Lalu bagaimana? Aku juga
tidak tahu. Saat ini aku tengah mengikuti skenario Tuhan saja. Meski skenario
saat ini memang buruk sekali. Berharap Tuhan lekas-lekas melewatkan aku dari
masa ini. Tuhan, mohon lekaskan prosesku menerima perpisahan kali ini. Hingga saat
kau takdirkan aku bertemu dan memulai kisah yang baru, tidak ada kekhawatiran
apapun tentang masa lalu.
Komentar
Posting Komentar