Alasan Aku Menyerah

 Minggu, 27 November 2022

 

Mengapa aku menyerah?

Dari awal aku tidak yakin padamu. Rasa-rasanya tidak aka nada masa depan kita bersama. Lalu kau gigih sekali meyakinkanku. Hingga aku percaya. Terlampau percaya. Aku menaruh semua harapanku padamu. Aku yakin, kamu tidak sedang bercanda. Kamu memang memilihku untuk kamu perjuangkan, untuk kamu wujudkan masa depan kita.

Lantas mengapa aku menyerah?

Jika suatu saat tulisan ini kamu baca, maka ketahuilah saat aku menuliskan ini hatiku masih hancur. Masih berharap pada Yang Kuasa sekaligus meminta untuk diberi ikhlas. Aku menyerah, meski akhirnya aku menyesal, tapi ingin tahukan kamu mengapa aku menyerah?

Pertama, aku merasa kamu tidak seyakin dulu. Saat kita membahas hal lebih jauh, misalnya bagaiamana jika ternyata ibu dan bapak memintamu melamarku segera. Dulu, kamu memang menjawab belum bisa, tapi kamu katakana akan berusaha untuk meyakinkan mereka. Dengan memberikan cincin dan mempertemukan keluarga lebih dulu.

Tapi kemudian, hari-hari kemarin, saat hal itu benar-benar terjadi. Kamu malah memberi opsi untuk aku pergi. Katamu, kamu ikhlas jika ada yang lebih baik dan lebih siap darimu. AKU SANGAT KECEWA. Saat itu  kamu melihatku menangis bukan? Aku terisak sembari berkata “mengapa tidak sedari awal, mengapa berusaha meyakinkanku tapi akhirnya kamu menyerah?” iya. Sebelum aku, kamu yang menyerah lebih dulu.

Lalu beberapa bulan setelah itu, kamu belum juga ada keputusan akan bagaimana. Aku mengerti, kondisi keluarga dan lain-lainnya sedang tidak baik, tapi kondisi kita juga sedang butuh perbaikan saat itu.

Kedua, berulang kali ku katakana kapal kita sedang bocor. Ayo caari tahu dimana letaknya dan segera perbaiki. Setelah kuperhatikan kembali jejak chat kita, ternyata sudah didominasi oleh pertengkaran-pertengkaran yang tidak berguna. Tapi responmu selalu seolah semua baik-baik saja. Aku sendiri yang terseok-seok menambal kebocoran. Katamu, kamu akan coba perbaiki, tapi nyatanya selalu tidak. Hal yang kamu coba perbaiki, selalu saja kamu ulangi. Kamu mau contohnya?

Aku selalu berkata “bisakah aku meminta waktumu?’, “bolehkan kamu tentukan satu malam yang aku bisa menghubungimu, mendengar suaramu, melihat wajahmu sampai aku tertidur?”. Jawabanmu, yaa begitulah. Kadangkala janji, tapi besoknya sudah tidak bisa diharapkan lagi.

Kadangkala aku merasa aku yang berlebihan, aku tahu kamu teramat sibuk dan lelah. Hingga waktu untukku terabaikan. Kamu selalu merasa, kamu memberi banyak waktu, dengan menyempatkan menelpon dalam perjalanan pergi atau pulang ke kantor. Tolonglah, aku butuh berbicara dari hati ke hati denganmu. Aku butuh hati dan pikiranmu fokus padaku. Aku ingin kita membahas masa depan, bukan hanya yang terjadi hari ini. Karena entah kamu menyadari atau tidak, kamu semakin menghindari pembahasan masa depan. Padahal jelas sekali dalam ingatanku, dulu kamu yang sangat antusias membicarakannya. Dalam candaan dan dalam pembahasn mendalam. Hari-hari kemarin, rasa-rasanya kamu anti sekali dengan candaan norak tentang masa depan.

Waktu kita semakin dekat, tapi aku merasa kamu semakin tidak siap bahkan semakin jauh. Aneh.

Ketiga, aku tidak ingin menjadi beban di hidupmu, di masa mudamu. Selalu ku katakana, kamu berhak bebas. Seharusnya kamu tengah menikmati hidup, bukan pusing memikirkan hidup. Kamu si anak pertama yang harus berganti menjadi tulang punggung. Tanpa ada akupun, hidupmu sudah berat. Kamu bahkan menangis mengeluhkan nasibmu. Jadi, rasa-rasanya dengan aku menyerah, berkuranglah satu beban dihidupmu.

Itulah alasanku menyerah. Meski begitu besar harapku padamu. Aku bingung sendiri, aku berharap tapi aku ingiin tenang. Aku ingin melepasmu, tapi namamu masih kusebut dalam dialog denganNya. Aku hanya bisa berkawan dengan waktu. Mengharap ia segera memberi ruang tenang untukku.

Komentar