Aku Masih di Bandung

 



06 September 2023

11:08

Kamu berikirim pesan padaku. Setelah hampir tiga puluh hari, setelah permintaan maaf yang ku kirimkan karena telah lancang kembali mengirim pesan melalui aplikasi WhatsApp. Padahal kamu sudah sengaja memblokkir kontakku, aku malah mencobanya dengan menggunakan nomer yang lain.

Tiba-tiba sekali, kamu berkirim pesan yang cukup panjang sejauh ini. Bercerita bahwa kamu bertemu seseorang yang teramat mirip denganku. Dan itu membuatmu terdiam, tidak percaya, lemas dan bergetar.

Aku belum merespon. Meski hatiku berteriak berkata aku harus segera meresponnya. Tapi logikaku kali ini menang. Aku tidak merespon dan menganggap bahwa kamu tidak butuh direspon.

Keesokan paginya, ternyata kamu berkirim pesan lagi. Kangen katamu. Mungkin kejadian kemarin terbawa mimpi hingga membayangi aktivitasmu di pagi hari. Sampai di jam kerjamu yang padat itu kamu menyempatkan berikirim pesan. Aku beranggapan yaa mungkin kamu sedang benar-benar merasakannya.

Kali ini aku yang berdebar. Meski tahu kamu hanya sekadar berkirim pesan, bukan berniat kembali atau mengulang kisah. Aku tetap saja berdebar. Sepanjang hari aku memikirkan, kalimat seperti apa yang harus aku sampaikan. Inginnya aku berkata jujur, bahwa sampai saat ini tidak terlewat satu haripun tanpa kerinduan terhadapmu. Tapi kuurungkan. Mengingat lagi, bahwa kamu datang untuk pergi. Kamu hanya memberi kabar, bukan untuk menjalin kembali hubungan yang telah berakhir.

Satu, dua hari ku biarkan.

Akhirnya aku balas pesannya “kamu berharap aku membalas apa?”.

Kalimat itu mewakili perasaanku yang bingung. Apa yang sebenarnya kamu harapkan dariku. Kamu sengaja blokir dan menjauh dari apapun tentangku. Tapi kamu datang lewat aplikasi Facebook yang rasanya kamu buka setiap sebulan sekali. Benar-benar sekali. Sekali kirim pesan, hilang.

Aku bingung.

Entah aku kegeeran, naif, bodoh atau bagaimana, tapi aku merasa kamu jujur saat berkirim pesan “kangen” saat itu. Bukan hanya saat itu bahkan, sebelum-sebelumnyapun demikian. Beberapa bulan yang lalu.

Tapi kenapa kamu tidak pernah benar-benar menghubungiku?

Aku masih dengan semua hal yang sama. Akun sosial media, kontak WhatsApp, semuanya. Dan aku yakin kamu tahu. Tapi kamu juga sengaja tidak pernah menghubungiku. Menghindariku. Apa yang sebenarnya kamu harapkan dariku? Respon seperti apa yang kamu harapkan saat berkata “kangen” itu?

 

Beberapa hari setelahnya,.

Aku memutuskan menghapus pesanku yang belum kamu baca itu. Ku tulis ulang “aku juga rindu”. Aku terbawa suasana setelah menonton festival musik. Runtuh semua logikaku. Aku bertekuk lutut pada perasaanku. Aku mencoba jujur menyampaikan bahwa aku juga teramat merindukanmu. Meski aku belum tahu, aku merindukan sosokmu, atau rindu suasana saat kita masih bersama.

Masih belum berbalas. Bahkan mungkin belum terbaca. Hari kemarin, saat satu masalah menghampiriku. Aku berniat mengadu padamu. Sudah ku ketikkan kalimat-kalimat itu. Diakhiri dengan kemarahan dan kekecewaanku padamu yang terus saja datang dan pergi sesuka hati. Setelah semua terkirim, aku menghela napas. Sedikit lega karena merasa telah menyampaikannya padamu. Padahal, tidak ada bedanya dengan aku mengetik di komputer, seperti saat ini. Satu arah. Tidak ada respon.

Tidak sampai sepuluh  menit, aku menghapus pesan panjang itu. Seperti orang gila rasanya, secepat itu perang logika dan perasaanku. Merasa tidak seharusnya aku mengadu kepadamu. Siapa aku, siapa kamu. Itu hanya akan mengganggumu dan mencuri waktu sibukmu.

Ku biarkan kolom pesan itu kosong. Aku menutup aplikasi pesan dan fokus pada pekerjaan. Aku harus membiarkan kepalaku tenang. Tidak baik memutuskan sesuatu saat kepala sedang banyak sekali pikiran.

Malamnya, barulah aku membuka kembali aplikasi pesan itu dan mengetikkan sesuatu. Ku tuliskan “aku masih di Bandung”. Sekilas tidak nyambung dengan pesanmu sebelumnya. Tapi maksudku adalah aku masih di sini. Di tempat yang sama. Semua-muanya sama. Tidak ada yang berubah dariku. Bahkan perasaanku. Maka jika kamu merasa “kangen”, kamu tahu harus kemana dan bagaimana. Aku masih di Bandung. Tapi sampai aku menceritakan hal ini, pesannya belum berbalas.

Komentar