Patah Hati (Lagi)

Usiaku Usiaku 28 beberapa bulan lagi menuju 29. Usia yang harusnya tidak lagi banyak bercanda dalam hubungan percintaan bukan? Tapi nahas, hari ini aku kembali patah hati. Sejadi-jadinya. Aku pernah memiliki hubungan special dengan seseorang. Beberapa tahun LDR tidak jadi kendala, tapi mejelang usia 25 tiba-tiba komunikasi kami terhambat. Lebih banyak pertengkaran dan nampaknya ada tujuan yang tidak sejalan. Maka tiga tahun yang lalu hubungan kami berakhir. Aku yang mengakhiri. Apakah karena aku tidak menyayanginya lagi? Bukan, tentu saja bukan. Aku sangat tahu keputusan yang ku ambil sudah dangat tepat. Meski setelanya aku kelimpungan. Hidup jadi hampa, hilang arah, dan tentu saja kesepian. Tiga tahun lalu adalah patah hati terhebat untukku bahkan mungkin untuknya. Aku tidak punya timbangan untuk mengukur siapa yang lebih menderita, aku atau dia. Setelah itu aku menyesal, aku banyak sekali mengganggunya. Berharap dapat memperbaiki. Beberapa kali aku seperti tidak punya harga diri, dan tidak punya malu karena terus mengganggunya. Ia menghilang. Sesuai janjinya. Ia akan menghilang setelah semua urusanku dengannya berakhir. Lama sekali. Aku tidak tahu seberapa menyakitkan lukanya. Tapi ia pun tidak tahu, seberapa terluka aku menjalani hidup setelah perpisahan. Singkat cerita, dua minggu lalu ia menghubungi. Dengan segala kerandoman yang tidak berubah. Tiba-tiba menyuruhku ke dokter gigi, memintaku pindah mengajar ke tempat yang lebih dekat dengannya, katanya suatu hari nanti dia akan mengantarku lebih dulu, baru ia akan pergi ke tempat kerjanya. Sesuatu yang terdengar memberi harapan bukan? Sangat. Tiga tahun aku selalu rindu. Tiga tahun aku selau mendoakannya. Tiga tahun aku selalu menunggu ia memberi kabar. Maka saat ia datang kemarin, aku terlalu bahagia dan terlalu berharap lebih. Kami baru mulai komunikasi satu dua hari, tapi aku sudah berkhayal, mungkin ini tahun terakhirku di Bandung. Mungkin tahun depan, aku akan ikut dengannya. Sangat berlebihan bukan? Hingga akhirnya kami bertemu, setelah tiga tahun lamanya. Aku sangat bahagia. Degdegan. Bahkan berkali-kali aku mencocokkan pakaian mana yang aku gunakan. Aku membeli beberapa di keranjang oren. Dan yang tidak habis pikir, lima menit sebelum bertemu aku masih sempat berganti baju di toilet museum. Karena tiba-tiba merasa tidak percaya diri dengan apa yang pakai. Sangat penuh persiapan bukan? Bukan hanya itu, aku sampai begadang untuk membuat semacam rencana temapat yang akan kami kunjungi selama di Bandung. Aku membuatnya di Canva. Tapi ternyata, pertemuan kami tidak sesuai rencana. Aku tidak tahu, itu disengaja atau tidak. Tapi sepertinya setelah aku tahu kenyataan pahitnya, aku rasa itu disengaja agar pertemuan kami jadi lebi singkat, mungkin hanya tiga jam. Padalah rencana awalnya hampir 48 jam. Saat bertemu, aku memang melihanya tidak bersemangat. Tapi aku kira itu karena mobil yang hendak disewa mendadak cancel. Ternyata bawaan dari rumah. Aku sebodoh itu sampai tidak menyadari. Kami hanya mengobrol santai di sebuah coffee shop dan makan sebentar di tempat yang tidak jauh dari sana. Setelah itu aku mengantarnya kembali ke stasiun. Aku meneteskan air mata karena beberapa kali ia memintaku segera pulang. Katanya khawatir hujan semakin deras. Padahal mungkin ia sudah muak bersamaku. Lagi-lagi aku bodoh sekali. Menganggap ia benar-benar khawatir kepadaku. Dan akhirnya kami kembali berpisah. Entah sampai kapan, atau mungkin selamanya. Mengapa aku katanyan seperti itu? Ternyata ia kembali menghilang, setelah sempat berkata ia tidak tahu dengan apa yang dirasakan sekarang. Apakah ia senang atau bagaimana. Ia bingung. Lalu memilih menghilang, dan membuatku juga bingung. Beberapa hari aku biarkan. Hingga kemarin, aku sudah hilang kesabaran. Aku coba menghubungi, meski tidak ada jawaban. Hingga aku berani mengatakan ia jahat sekali. Aku tidak tahu seberapa bingung dan rumit pikirannya. Tai bukan berarti menghilang adalah solusi. Membuat aku jadi bingung, sebingung-bingungnya. Aku jadi merasa apakah aku melakukan kesalahan? Apa fisikku sudah semakin tidak menarik? Apa obrolanku sudah membosankan? Apa? Kenapa? Aku butuh sekali jawabannya. Hingga ia dengan beberapa kalimat yang begitu menyakitkan. Teramat menyakitkan. Ternyata dari saat pertama datang ia hanya mencoba berperilaku biasa dan sama sekali sudah tidak bersemangat untuk melanjutkan komunikasi. Katanya ia sudah berusaha keras tapi hanya berbuah sesak dan sakit. Ada yang berbeda. Mungkin perasaannya yang sudah berbeda. Ia sudah tidak memiliki perasaan yang sama seperti tiga tahun lalu. Kenyataan memang menyakitkan. Tapi aku sangat menghargai jika ia jujur dari awal bahwa perasaanya sudah tidak sama. Tapi yang lebih membuatku sakit adalah, ia berpura-pura bahagia kemarin? Selama komunikasi dan bertemu kemarin? Sebodoh apa aku dimatanya karena benar-benar menganggap ia bahagia bersamaku. Sebodoh apa aku yang berkhayal jauh, ternyata dia hanya berpura-pura? Yaa Alllaaaaaaah. Sakit sekali rasanya. Aku seperti kembali ke titik nol, seperti kembali ke tiga tahun yang lalu. Lalu kau flash back, melihat kembali pola chat dua minggu kemarin. Namapakna ia mulai muak saat aku sedikit kesal. Ia memintaku memaklumi chatnya yang datang pagi dan dibalas sore karena ia tertidur. Sementara aku memintanya setidaknya berkabar sebentar, karena kau melalukan hal yang sama. Dari sana mungkin rasa sekak dan sakit yang ia rasakan kembali hadir. Aku perhatikan, dari sana ia meresponku dengan sangat biasa. Mungkin, tebakanku entah entah tidak. Karena lagi-lagi ia memilih menghilang ketimbang dibicakan. Aku seperti sampah. Dibuang dan diabaikan kapan saja, tanpa perlu diberi penjelasan sebelumnya. Akhirnya kemarin, ku beranikan untuk mengucap selamat tinggal, bukan lagi sampai jumpa. Jika memang perasaannya yang sudah berubah, maka aku akan tahu diri. Aku tidak akan mengganggu lagi dan tidak akan berusaha mencari. Karena aku tahu, ternyata aku hanya membawa sesak dan sakit untuknya. Semoga, banyak hal baik yang akan datang setelah ini. Karena patah hati kali ini sangat menyakitkan. Lukanya tidak tertahan, sampai kuberanikan menceritakan pada ibu. Bukan untuk membuatnya khawatir, tapi butuh ibu doakan. Aku butuh ibu tenangkan. Aku butuh kepercayaan bahwa hidupku tetap berjalan. Dan aku butuh ibu untuk tidak mengkhawatirkan pernikahan. Aku menikah atau tidak, ku keblaikan pada Tuhan.

Komentar